London (ANTARA News) - Perbudakan adalah sebuah kata yang terkesan kuno dan sangat keji. Namun pada kenyataannya perbudakan saat ini masih terus terjadi, bahkan angkanya terus meningkat.

"Perbudakan sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Tetapi sekarang bentuk perbudakan masih terjadi di sistem ekonomi modern sebagai kejahatan lintas batas negara," kata Kevin Bales, seorang peneliti sosial yang terlibat dalam penyusunan Indeks Perbudakan Dunia/The Global Slavery Index (GSI) 2014, di London, Senin.

Dalam GSI 2014, diperkirakan 35,8 juta orang di 167 negara di dunia mengalami praktik-praktik perbudakan modern.

"Angka ini adalah yang terbesar dalam sejarah manusia, dan belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kevin.

Lalu apa itu perbudakan modern?

Perbudakan modern didefinisikan secara beragam di banyak negara.

Sebagian memahami perbudakan modern sebagai bentuk modern dari perbudakan. Hal ini meliputi praktik perbudakan itu sendiri dan perdagangan manusia, pekerja paksa, pekerja dipaksa bekerja untuk melunasi utang, dan perdagangan anak di bawah umur.

Dalam Indeks Perbudakan Dunia, perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Orang bisa dipekerjakan dan dibuang begitu saja seperti barang.

Walk Free Foundation, sebuah lembaga yang giat mengupayakan penghapusan perbudakan modern, merinci bahwa perbudakan modern bermula dari perdagangan manusia.

Perdagangan manusia (human trafficking) meliputi rekruitmen, transportasi, dan transfer seseorang dari tempat A ke tempat B.

Dengan menggunakan kekerasan, ancaman, penculikan, dan penipuan, orang-orang yang rentan terhadap perbudakan modern mendapat bayaran yang sangat minim bahkan nyaris tidak sama sekali, dan mereka tidak bisa keluar dari sistem itu.

"Mereka tidak bisa menyatakan, 'Saya berhenti!' kecuali mungkin bila mereka mati," kata Kevin menjelaskan.

Dikutip dari Protokol Perdagangan Manusia PBB tahun 2000, orang-orang yang terjerat perbudakan modern diekspoitasi dalam beraneka bentuk: prostitusi, eksploitasi seksual, buruh paksa, pernikahan paksa, dan perdagangan organ.

Perbudakan modern terjadi di sistem ekonomi yang modern seperti sekarang ini. Sistem ekonomi selepas Perang Dingin telah mengalami perubahan yang sangat drastis, di mana modal dan uang bisa bergerak melintasi batas negara lebih cepat daripada pergerakan manusia.

Memasuki tahun 1980-an, perbatasan negara yang tadinya sangat ketat berubah menjadi lebih lunak, di mana modal terus mencari buruh yang lebih murah.

Ini adalah latar belakang ekonomi, dan di sisi lain ada pula pemicu lain yang menyebabkan kenapa perbudakan modern semakin banyak terjadi di banyak negara.


Pemicu

"Pemicu perbudakan modern ada tiga. Pertama adalah ledakan populasi, di mana dalam 50 tahun terakhir kita melihat populasi dunia dari 2 miliar menjadi 7 miliar orang," katanya.

Dengan jumlah manusia yang demikian banyak, semua orang berlomba untuk mendapatkan pekerjaan. Dan terkadang pekerjaan dengan kondisi sangat buruk pun tetap dilakoni bila tidak ada pilihan lain.

"Ledakan populasi membuat pasokan tenaga kerja melimpah. Dan itu pula sebabnya saat ini rata-rata biaya untuk memperbudak satu orang menjadi semakin murah," ujar dia.

Sebagai pembanding, sekitar 4.000 tahun lalu harga budak adalah sama seperti harga hari ini kita membeli truk. Tapi setelah tahun 1960-an dengan ledakan populasi yang sangat tinggi, memperbudak seseorang hanya membutuhkan 90--100 dolar.

"Harga" untuk mendapat budak ini mencakup yang iming-iming di awal, bensin untuk mengirim dari satu tempat ke tempat lain, dan peluru untuk menakuti korban perbudakan modern.

Faktor kedua yang memicu perbudakan modern adalah kemiskinan yang ekstrim dan berbagai kondisi rentan seperti perang, pemerintahan yang buruk, perubahan iklim, dan bencana alam.

Orang dengan kemiskinan sangat rentan untuk terjerat ke dalam praktik perbudakan modern. Bila seseorang tidak memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan nafkah, maka tawaran apapun yang menghampiri akan diambil.

"Sangat penting untuk dipahami bahwa perbudakan tidak diwariskan. Mereka yang tidak punya pekerjaan dan miskin akan sangat rentan menjadi korban perbudakan modern. Mereka bukan bodoh, tapi memang kesulitan ekonomi membuat mereka tidak punya pilihan lain," kata Kevin yang meneliti isu ini sejak 1999.

Perubahan iklim yang membuat lahan pertanian tidak lagi subur, juga memicu orang untuk bekerja sebagai nyaris budak demi sedikit uang.

Faktor lain yang sangat menyuburkan perbudakan modern adalah korupsi, terutama bila polisi dan para penegak hukum memilih untuk tidak menegakkan norma hukum.

Adalah fakta bahwa hampir semua negara di dunia telah menetapkan perbudakan sebagai tindakan yang melawan hukum, namun ternyata praktik perbudakan di dunia modern masih terjadi di 167 negara yang disurvei GSI.

Perbudakan adalah kejahatan yang tersembunyi ("hidden crime") dan terjadi tidak hanya di negara miskin, melainkan juga di negara kaya. (Baca: Lima negara dengan angka perbudakan tertinggi)

Uniknya, mayoritas perbudakan modern terjadi di dalam negeri sendiri. Perbudakan lintas negara hanya sekitar 10--15 persen dari jumlah orang yang terjebak menjadi budak.

Sebagai contoh, di India dan Pakistan tak jarang semua anggota keluarga bekerja layaknya budak di sektor konstruksi, pertanian, pembuatan batu bata, pabrik garmen, dan pabrik manufaktur. Mereka terjebak karena harus membayar hutang dan tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk sekedar membeli makan.

Mereka yang memilih untuk pergi keluar negeri dan mengadu nasib dengan bekal keahlian sangat minim akan menjadi sangat rentan terjerumus ke praktik perbudakan di negara-negara kawasan Timur Tengah.

Di negara-negara kaya, mereka yang diperlakukan sebagai budak bekerja di sektor informal seperti pembantu rumah tangga dan sektor formal seperti kapal ikan besar.

Sekitar 122 produk yang dibuat di 58 negara adalah hasil kerja dari buruh yang diperlakukan sebagai budak.

Dengan upah buruh setara dengan budak, keuntungan dari sistem perbudakan modern sangat menjanjikan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menduga perbudakan modern telah memberikan keuntungan sekitar 150 miliar dolar per tahun bagi para pemilik modal.

Mulai dari buruh tangkap ikan di Thailand, bocah Kongo yang menambang berlian, anak di Uzbek yang memetik kapas, gadis cilik India yang menjahit bola, hingga buruh garmen yang bekerja layaknya budak. Dunia mengkonsumsi produk mereka tanpa menyadari bahwa pembuatnya telah diperlakukan tidak manusiawi.


Respon

Lantas bagaimana dengan respon pemerintah terhadap praktik perbudakan di era modern?

Baik negara kaya atau miskin, mereka sama-sama tidak berinvestasi secara serius dan memadai untuk menghapuskan sistem perbudakan dari muka Bumi.

"Ini karena mereka tidak benar-benar tahu besarnya masalah ini. Angka korban perbudakan modern tidak ada yang benar-benar akurat, sebab perbudakan adalah sekali lagi kejahatan yang tersembunyi. Sulit untuk mendapat angka yang tepat tentang berapa jumlah korban dan di mana saja mereka berada," kata Kevin menjelaskan.

Pemerintah juga kerap rancu ketika menghadapi isu perbudakan modern dengan masalah pelanggaran aturan imigrasi, perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia.

Mayoritas negara di dunia telah memiliki rencana aksi untuk mengatasi masalah perbudakan modern (101 dari 167 negara), sebagian sudah memiliki badan koordinasi nasional (140 dari 167 negara), dan sekitar 150 negara telah melatih garda terdepan penegakan hukum agar bisa mengindentifikasi korban perbudakan modern.

Namun masih banyak juga negara yang hanya memiliki kebijakan sebatas "macan kertas" tanpa implementasi yang memadai. Negara-negara di ASEAN, seperti Indonesia dan Thailand, disebut dalam GSI sebagai negara yang memiliki respon sangat keras di dalam kertas tapi sangat lembek di penerapan terlebih karena gerogotan praktik korupsi. (Baca juga: Ratusan ribu warga Indonesia jadi korban perbudakan)

Di negara seperti Hong Kong, Kuwait, dan Saudi Arabia, pemerintahnya menunjukkan respon yang sangat minim terhadap isu perbudakan modern. Dengan sistem kafala--yang mengikat pekerja kepada pemberi kerja--memicu aksi kekerasan terhadap pekerja pembantu rumah tangga dan pekerja bangunan di Timur Tengah.

Respon terkuat dari pemerintah ditunjukkan oleh Brazil lewat "Daftar Kotor" yang mengumumkan individu dan perusahaan yang telah terbukti mengambil keuntungan dari buruh di sistem perbudakan.

Para perusahaan dan individu di dalam "Daftar Kotor" akan berada di sana selama dua tahun hingga akhirnya bisa membuktikan bahwa mereka tidak lagi terlibat dalam bentuk perbudakan modern.

Amerika--sebagai negara konsumen terbesar di dunia--juga telah memperkuat kebijakan yang mencegah praktik perbudakan, salah satunya dengan mewajibkan setiap kontrak di atas 500.000 dolar untuk dilengkapi dengan pengujian sistem tenaga kerja bebas perbudakan.