Untuk mencapai Kantor Urusan Agama (KUA) Belakang Padang dari Pelabuhan Sekupang, Batam, tidaklah terlalu sulit. Hanya membutuhkan waktu 15 menit menggunakan perahu mesin tempel dan membayar Rp15 ribu/orang, sampailah di Pelabuhan Belakang Padang.
Sesampainya di Pelabuhan Belakang Padang, yang cukup ramai lantaran banyak dilintasi kapal tujuan Singapura, perjalananan dilanjutkan dengan menggunakan becak dengan ongkos Rp15 ribu.
Perjalanan dengan becak lambat, bukan karena macet. Abang becak tidak sepenuhnya dapat menggoes, karena untuk mencapai lokasi KUA harus melewati jalan menanjak. Si abang becak setempat mendorong.
Setelah melewati pemakaman Muslim dan Nasranai di kawasan perbukitan, barulah tiba di lokasi kantor KUA berukuran 8 x 10 meter berdiri di atas lahan 30 x 20 meter berwarna kuning.
Ruang KUA Belakang Padang dilepangkapi balai nikah ukuran 3 x 3 meter. Ruang balai nikah untuk mempelai juga dilengkapi hisan warna pernak-pernik kuning khas Melayu, bagian kiri dan kanan diperkaya payung berlapis kain kuning mengkilat. Sementara perkantoran dilengkapi sebuah komputer yang dioperasikan tenaga honorer. Ada absen jari yang belum dapat terkoneksi dengan kantor Kementerian Agama di Batam.
Kehadiran balai nikah di KUA ini sangat membantu warga setempat, kata Kepala KUA Belakang Padang, H. M. Arsyad, yang mengaku sampai Oktober 2014 jumlah peristiwa nikah telah mencapai 189 pasang. Diperkirakan akan melebihi angka 219 pasang yang tercatat pada 2013.
Ia bercerita, tugas penghulu pada kantor urusan agama atau KUA tidak sebatas pada kewajiban mencatat peristiwa pernikahan dari hari ke hari hingga per tahun yang kemudian dilaporkan ke Kantor Kementerian Agama setempat. Juga memberi nasihat perkawinan ketika tuan rumah menggelar pernikahan, hingga membaca doa.
Penghulu yang bertugas di KUA Belakang Padang, Batam, - yang jaraknya hanya 20 km ke Singapara, punya tugas-tugas di luar agenda kewajibannya.
Sudah dimaklumi bahwa tugas pokok penghulu adalah mengecek berkas kelengkapan pernikahan dan mencatatkannya dalam buku induk. Dalam praktik, ia kadang sebagai khotbah nikah, wali nikah yang mewakili orang tua perempuan.
Selain itu, punya kewajiban membimbing pembacaan sighat talik, memberi nasihat perkawinan hingga membaca doa bagi keselamatan seluruh kedua pembelai.
Hal itu semua sudah biasa terjadi. Tapi di luar itu, ada tugas penghulu dan seluruh perangkat KUA Belakang Padang Batam, yaitu melayani masyarakat di luar kedinasan, yang tidak tercantum dalam SOP (standard operating procedure).
Terlebih lagi bagi masyarakat di wilayah Belakang Padang, posisi penghulu menduduki posisi strategis karena berada pada strata sosial teratas. Belakang Padang merupakan sebuah pulau kecil yang berdekatan dengan Pulau Batam dan Singapura. Wilayah itu dapat ditempuh 15 menit dengan perahu mesin tempel dari Pelabuhan Sekupang. Untuk mencapai Singapura, juga bisa ditempuh selama 15 menit.
Namun dari pelabuhan Belakang Padang tak ada kapal yang bertolak ke Singapura, kendati jaraknya lebih dekat. Untuk ke negeri jiran harus menggunakan kapal besar dari pelabuhan internasional Sekupang.
Pulau Belakang Padang memiliki luas lahan sekitar 68,4 km dihuni sekitar 24 ribu warga dengan latar belakang yang heterogen. Sebagaian warganya merupakan pendatang dari beberapa daerah di sekitar Indonesia dengan mata pencarian beragam.
Pulau kecil ini dibagi menjadi beberapa kelurahan yang dihuni oleh beberapa suku, seperti Jawa yang umumnya bertempat tinggal di kelurahan Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Tengah yang banyak di tempati suku Melayu dan Padang, Kelurahan Kampung Tanjung banyak ditempati oleh suku Melayu dan Pasar yang banyak dihuni oleh orang Tionghoa.
Kecamatan Belakang Padang mempunyai enam kelurahan/desa. Yaitu, Kelurahan Pempin, Kelurahan Kasu, Kelurahan Pecong, Kelurahan Pulau Terong, Kelurahan Sekanak Raya, Kelurahan Tanjung Sari. Di wilayah itu ada 55 pulau-pulau kecil yang masuk dalam wilayah Kecamatan Belakang Padang.
H. Arsyad, selaku Kepala KUA dan penghulu di Belakang Padang mengaku gembira bahwa kehadirannya di tengah masyarakat terasa dibutuhkan. Di luar tugas KUA, dirinya kerap dimintai tausiyah pada saat-saat hari besar Islam.
Menyolatkan jenazah, ceramah di kampung-kampung meski lokasinya cukup jauh. Bahkan ketika Ramadhan dan Idul Adha, undangan ke berbagai tempat tidak pernah henti. Saat libur, dirinya seolah mengalami kesulitan untuk membagi waktu.
Banyaknya undangan untuk "manggung" di berbagai tempat. Terlebih saat Ramadhan, mengisi kultum di masjid dan surau. Saat musim haji tiba, selaim memberi bimbingan manasik, juga diisi dengan ceramah. Menurut Arsyad, jangan dimaknai banyaknya kegiatan bagi penghulu di daerah itu berdampak pada "dompet tebal", atau banyak pemasukan dari pengundang.
"Masyarakat di sini ekonominya pas-pasan. Tapi, mereka sangat butuh siraman rohani. Jadi, jangan dipersepsikan banyak panggilan atau undangan lantas penghulu di sini hidup makmur," pintanya.
Tapi yang jelas, dalam setiap acara yang melibatkan orang banyak, dirinya selalu duduk di barisan terdepan bersama para tamu terhormat.
KUA dan Aspek Yuridis
Harus diakui KUA kecamatan merupakan unit kerja Kementerian Agama yang berada di garda terdepan pelaksanaan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat di bidang keagamaan.
Secara histories, KUA memiliki rentang usia cukup panjang. Seorang ahli di bidang ke-Islaman Karel Steenbrink mengatakan KUA kecamatan secara kelembagaan telah ada sebelum Depertemen Agama itu sendiri ada.
Pada masa kolonial, unit kerja dengan tugas dan fungsi yang sejenis dengan KUA kecamatan, telah diatur dan diurus di bawah lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendirian unit kerja ini tak lain adalah untuk mengoordinir tuntutan pelayanan masalah-masalah keperdataan yang menyangkut umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kelembagaan ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Jepang melalui lembaga sejenis dengan sebutan Shumbu.
Pada masa kemerdekaan, KUA kecamatan dikukuhkan melalui Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-undang ini diakui sebagai pijakan legal bagi berdirinya KUA kecamatan. Pada mulanya, kewenangan KUA sangat luas, meliputi bukan hanya masalah nikah dan rujuk atau NR saja, melainkan juga masalah talak dan cerai. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diberlakukan dengan PP. No. 9 tahun 1975, maka kewenangan KUA kecamatan dikurangi oleh masalah talak cerai yang diserahkan ke Pengadilan Agama.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kepres No. 45 tahun 1974 yang disempurnakan dengan Kepres No. 30 tahun 1978, mengatur KUA kecamatan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan sebagaian tugas Departemen Agama Kabupaten di bidang urusan agama Islam di wilayah kecamatan.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, kedudukan KUA kecamatan memegang peranan yang sangat vital sebagai pelaksana hukum Islam, khususnya berkenaan dengan perkawinan. Peranan tersebut dapat dilihat dari acuan yang menjadi pijakannya, yaitu: Pertama UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Kedua, UU No.22 tahun 1946 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Ketiga, Keppres No. 45 tahun 1974 tentang tugas dan fungsi KUA kecamatan yang dijabarkan dengan KMA No. 45 tahun 1981. Keempat, Keputusan Menteri Agama No. 517 tahun 2001 tentang pencatatan struktur organisasi KUA kecamatan yang menangani tugas dan fungsi pencatatan perkawinan, wakaf dan kemesjidan, produk halal, keluarga sakinah, kependudukan, pembinaan haji , ibadah social dan kemitraan umat.
Kelima, Keputusan Menteri Agama RI No. 298 tahun 2003 yang mengukuhkan kembali kedudukan KUA kecamatan sebagai unit kerja Kantor Departemen Agama kabupaten/kota yang melaksanakan sebagian tugas Urusan Agama Islam.
Karena tugasnya berkenaan dengan aspek hukum dan ritual yang sangat menyentuh kehidupan keseharian masyarakat, maka tugas dan fungsi KUA kecamatan semakin hari semakin menunjukkan peningkatan kuantitas dan kualitasnya.
Peningkatan ini tentunya mendorong kepala KUA sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam melaksanakan dan mengoordinasikan tugas-tugas KUA kecamatan untuk bersikap dinamis, proaktif, kreatif, mandiri, aspiratif dan berorientasi pada penegakkan peraturan yang berlaku.
Operasional
Terkait biaya operasional KUA, Arsyad mengaku bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki pihaknya masih bisa membayar iuran listrik, kebersihan dan keamanan. Termasuk untuk tenaga honor yang membantu tugas sehari-hari. "Kami mendapat bantuan untuk operasional kantor sebesar Rp3 juta per bulan dari pusat," katanya.
Namun untuk biaya perjalanan dinas, ia menjelaskan, sejak diberlakukan nikah gratis di KUA dan pelayanan nikah di luar jam kantor atau hari libur dikenai biaya Rp600 ribu untuk setiap peristiwa pernikahan, para penghulu di seluruh Indonesia hingga kini belum mendapat biaya operasional.
Biaya operasional untuk para penghulu yang dialokasikan dari dana pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Biaya Nikah dan Rujuk masih diproses. Arsyad mendengar kabar bahwa Ditjen Bimas Islam kini tengah memproses dan tengah minta persetujuan dari Kementerian Keuangan untuk pencairannya.
Karena itu, pihaknya dan seluruh KUA telah diminta segera melaporkan data peristiwa pernikahan kepada kantor wilayah Kementerian Agama setempat.
Sekretaris Ditjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin kepada Antara membenarkan bahwa seluruh KUA telah diminta merapikan data dan melaporkan jumlah peristiwa pernikahan. Sehingga pada waktunya pencairan dapat lebih cepat.
Amin menjelaskan, dana penyetoran biaya nikah di luar KUA, sesuai dengan Peraturan Menteri Agama hingga kini mencapai sekitar Rp234 miliar. Dana tersebut merupakan akumulasi dari biaya nikah dari seluruh Indonesia yang disetorkan oleh calon pengantin yang hendak menikah di luar jam kerja atau luar kantor KUA. Setoran biaya nikah yang disetorkan melalui bank (yang ditunjuk Kementerian Agama) itu berlaku sejak Juni 2014.
"Kita ingin secepatnya biaya operasional para penghulu segera cair," kata Amin.
Penjelasan Amin ini juga sekaligus menanggapi keluhan para penghulu di seluruh Indonesia bahwa hingga kini pemerintah belum juga mengucurkan dana operasional bagi penghulu.
Karena keterbatasan dana, para penghulu yang bekerja di wilayah perbatasan seperti di Belakang Padang, Batam - Singapura, harus pandai-pandai agar pelayanan nikah tetap jalan. "Kadang, untuk wilayah yang jauh di pulau terluar, kita harus ngutang dulu," kata Arsyad.
Bagi warga yang sudah menyetor uang Rp600 ribu ke bank, tentu tak akan mengerti penghulunya tak punya uang transportasi. "Kita bisa dipancung jika tak melayani mereka. Bukan pak Irjen Kementerian Agama M. Jasin yang diancam, kita yang diancam oleh warga sendiri," kata H. Nabhan, Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kota Batam.
Menurut Sekretaris Ditjen Bimas Islam, pihaknya kini tengah menggeser biaya nikah dan rujuk ke rekening Bendahara Penerimaan Sekjen Kementerian Agama ke Ditjen Bimas Islam. Tentu ada proses dan butuh waktu karena harus mendapat persetujuan Kementerian Keuangan. "Kalau sudah ada persetujuan dari Kementerian Keuangan, proses selanjutnya akan lebih cepat," kata Amin lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.24 tahun 2014 yang mengatur pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar KUA Kecamatan sudah terbit. PMA tersebut ditandatangani Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin 13 Agustus.
PMA itu terbit menyusul diundangkannya PP No 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas PP No 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agama.
Amien menjelaskan pula bahwa PMA PNBP Biaya Nikah dan Rujuk mengatur pengelola, mekanisme pengelolaan PNBP Biaya Nikah dan Rujuk, tipologi KUA Kecamatan, perangkat pencairan, pelaporan, syarat bebas biaya nikah dan rujuk, serta supervisi.
PMA tersebut mengatur pengelompokan KUA menjadi dua: tingkat pusat dan tingkat daerah (Kanwil, Kankemenag, dan KUA Kecamatan), berikut dengan tanggungjawabnya masing-masing. Sedangkan penyetoran biaya nikah di luar KUA, lanjutnya lagi, PMA ini di antaranya mengatur bahwa calon pengantin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening Bendahara Penerimaan sebesar Rp600.000 (enam ratus ribu rupiah) pada bank.
Terkait dengan hal itu, Kementerian Agama telah menandatangani Nota Perjanjian Kerjasama tentang Pengelolaan Setoran dan Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Nikah dan Rujuk dengan empat Bank BUMN pada 23 Juli lalu. Empat Bank BUMN tersebut adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Untuk calon pengantin yang tinggal di daerah dengan kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat layanan bank pada wilayah kecamatan setempat, ia menjelaskan, PMA ini mengatur agar biaya nikah atau rujuk disetorkan melalui Petugas Penerima Setoran (PPS) pada KUA Kecamatan. PPS ini kemudian wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk yang diterimanya ke rekening Bendahara Penerimaan paling lambat lima hari kerja.
Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar negeri, Sekretaris Ditjen Bimas Islam itu mengaakan, PMA ini juga mengamanatkan agar biaya nikah atau rujuk langsung disetor ke rekening Bendahara Penerimaan.
Amin menjelaskan bahwa PMA 24 tahun 2014 juga mengatur bahwa PNBP Biaya Nikah dan Rujuk digunakan untuk membiayai pelayanan pencatatan nikah dan rujuk yang meliputi: transport dan jasa profesi penghulu; Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (PPPN); pengelola PNBP Biaya NR; kursus pranikah; dan supervisi administrasi nikah dan rujuk.
Penghulu dan "penjaga iman" di perbatasan
17 November 2014 07:34 WIB
Ilustrasi--Nikah Di Kantor KUA (ANTARA)
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014
Tags: