Washington (ANTARA News) - Peter Kassig, pekerja sosial Amerika Serikat yang dipenggal ekstrimis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ternyata terpanggil membantu warga Suriah yang menderita akibat perang saudara di negerinya.

Mantan tentara berusia 26 tahun itu menghilang 1 Oktober 2013 dan disandera ISIS yang kemudian membunuhnya.

Kassig berada di Timur Tengah sejak Maret 2012 ketika bepergian ke Lebanon dalam liburan kuliahnya, tulis keluarga dia di Facebook.

Setelah menyaksikan korban perang di negara tetangga Lebanon, Suriah, dia lalu mengemail keluarga dan sahabat-sahabatnya bahwa dia belum akan kembali ke AS.

"Saya telah berupaya menjalani hidup saya menurut jalan yang saya yakini, namun yang sebenarnya terjadi adalah, bagian besar kehidupan yang saya cari belum saya temukan," tulis dia. "Di sini, di tanah ini, saya menemukan panggilan hidup saya."

Pemuda Amerika yang juga terlatih sebagai teknisi medis darurat itu pergi ke Turki dan mendirikan kelompok bantuan, kata sang ayah Ed Kassig dalam video bulan lalu.

"Dia membantu melatih 150 warga sipil dengan keterampilan dalam menyediakan bantuan kesehatan kepada rakyat Suriah. Organisasinya menyalurkan makanan, bahan masakan, pakaian dan obat-obatan kepada mereka yang membutuhkan," kata Ed Kassig lagi.

Dalam satu email kepada seorang sahabat pada 2012, yang juga dipostingnya di laman Facebook, Kassig menulis tentang kebinasaan akibat perang dan harapannya mengenai masa depan.

"Perang tak pernah berakhir, hanya berputar-putar. Kehilangan dan kehancuran di tanah ini hanya membuat mereka yang selamat, bertekad untuk lanjut dan bangkit," kata dia.

"Saya tak yakin tapi saya kira saya mulai percaya itu seindah merampungkan membangun rumah, adalah menyenangkan memasangkan lagi batu bata setelah luluh lantak."

Kassig, yang masuk Islam selama ditawan dan berganti nama menjadi Abdul-Rahman, berkata lewat surat yang diselundupkan kepada keluarganya bahwa imannya masih kuat.

"Berkaitan dengan keyakinan saya, saya beribadah setiap hari, saya tidak marah pada situasi yang saya hadapi. Saya berada pada suasana yang secara dogmatis rumit, namun saya berdamai dengan keyakinan saya."

Lewat sebuah surat Juni lalu, Kassig menulis kepada keluarganya bahwa dia "takut mati", namun bagian tersulit yang dirasakannya adalah tidak mengetahui kapan ajal akan dicabut darinya.

"Jika saya memang mati, saya bayangkan setidaknya kalian dan saya telah berusaha berlindung dan nyaman karena mengetahui bahwa saya pergi sebagai buah dari upaya meringankan penderitaan dan membantu mereka yang membutuhkannya," tulis Kassig seperti dikutip AFP.