Jakarta (ANTARA News) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengimbau lembaga penyiaran untuk tidak mengeksploitasi konflik antara Pelaksana Tugas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Front Pembela Islam (FPI).

"Over expose konflik tersebut akan berdampak buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia," kata Komisioner KPI Pusat Danang Sangga Buwana di Jakarta, Kamis.

Danang mengingatkan bahwa konflik Ahok dan FPI adalah permasalahan lokal Jakarta, namun telah merambah menjadi isu nasional karena siaran televisi menjangkau puluhan juta pemirsa maupun pendengar di berbagai daerah hingga pelosok.

Pemberitaan yang masif terkait konflik politik tersebut, kata Danang, dikhawatirkan akan dapat memunculkan sentimen bernuansa SARA yang dapat menular ke berbagai daerah.

"Publik yang terdiri dari berbagai etnis dan agama bisa saja berpotensi tersulut oleh konflik tersebut," katanya.

Bahkan, lanjut Danang, konflik itu bisa menjadi contoh buruk yang diadaptasi oleh berbagai daerah yang mungkin mengalami problem serupa.

"Seharusnya lembaga penyiaran menjadi juru damai dengan mengimplementasi pola jurnalisme damai, bukan justru menjadi media provokatif yang kian memperuncing permasalahan tersebut," tegas Danang.

Sebagai lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi milik publik, kata Danang, media penyiaran sudah sepatutnya memanfaatkan diri untuk sebesar-besarnya kepentingan publik dan sarana integrasi bangsa.

"Jangan sampai lembaga penyiaran justru menjadi perusak bagi nilai pluralisme bangsa demi kepentingan sempit media semata. Ini tentu tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Penyiaran," katanya.

Lebih jauh, Danang mengimbau agar lembaga penyiaran mampu menahan diri untuk tidak terlampau mengekspos pemberitaan yang dapat berdampak pada konflik politik dan konflik kepentingan yang lebih besar.

"Di sini para pemilik media seharusnya menyadari posisi medianya sebagai pilar demokrasi, bukan sebagai perusak nilai demokrasi," katanya.