Jakarta (ANTARA News) - Ahmad Daryanto (42) memutuskan kembali ke silat Betawi setelah menekuni taekwondo, kempo, tarung derajat, dan tinju hingga usia 30 tahun.

Titik baliknya tahun 2000, ketika dia bertemu salah satu sesepuh guru silat Betawi aliran Beksi yang masih tersisa.

Waktu itu sebenarnya dia ingin unjuk kemampuan, tapi malah menelan kekalahan telak saat bertanding dengan sang pesilat Beksi.

"Leher sama badan kena. Malahan, leher sampai bengkak tiga hari," kata Ahmad Daryanto, yang biasa disapa Anto, ketika ditemui di rumahnya di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan.

"Pada akhirnya saya tahu bahwa Beksi ini bukan sembarang. Leluhur kita telah mewariskan sesuatu yang berkelas dan berbudaya tinggi," kata karyawan perusahaan minyak itu.

Dia pun kemudian mempelajari jurus-jurus silat Beksi dan filosofinya.

Sebenarnya silat Beksi bukan hal yang sama sekali baru bagi Anto. Saat berusia sekitar tujuh tahun dia mempelajari aliran silat itu dari kakeknya, Muhammad Bin Yahya, yang dikenal sebagai sesepuh seni silat Beksi dan pernah berguru langsung ke Lee Chang Hok (Ki Murhali) pada awal abad ke-19.

"Saat itu yang kecil dan yang muda semuanya belajar silat, habis mengaji di masjid sampai lepas isya, langsung nyambung latihan silat," kata dia.

Namun, ia menambahkan, tradisi Betawi menyandingkan aktivitas membaca Al Quran dan berlatih silat lambat laun mulai terkikis.

Jumlah orang yang mempelajari aliran silat itu pun, menurut dia, makin sedikit selama kurun 1990 sampai 2000, paling hanya para guru silat yang tetap mengajarkan ilmunya ke keluarga. Anto pun kemudian tergerak ikut melestarikan ilmu silat Betawi itu.

"Kalau tidak ada yang meneruskan, pasti Beksi akan punah. Lantas, siapa yang berkewajiban untuk meneruskan? Tentunya kita-kita yang muda ini," kata Anto.


Keunikan Beksi

Anto menjelaskan, Beksi berasal dari kata Bie yang artinya pertahanan dan Sie yang artinya empat (empat penjuru mata angin). Gerakan silat aliran Beksi utamanya meliputi gerakan untuk antisipasi.

"Beksi ini uniknya tidak menyerang tapi gerakannya lebih kepada gerakan antisipasi. Jadi kalau orang Betawi bilang lo jual, gue beli, maka ini pas sekali dengan filosofi Beksi," kata dia.

Ia lantas menuturkan bahwa para pesilat pemula yang mempelajari Beksi wajib melalui beberapa tingkatan untuk bisa benar-benar memahami gerakan dasar dan variasi aliran silat itu.

Pada tahap awal, mereka harus menguasai jurus satu sampai tiga, baru kemudian melanjutkan ke jurus empat sampai jurus ke-16.

Jurus keempat disebut Beksi, kelima Selosot Gedik, keenam Gedik, ketujuh Tunjang, kedelapan Tanjep, kesembilah Lokbe, dan kesepuluh Ganden.

Sementara jurus kesebelas disebut Petir, ke-12 Legok Gentong, ke-13 Lenggang Barong, ke-14 Bongkar Kandang, ke-15 Jomplang Kahar, dan ke-16 Janda Berias.

Anto sudah menguasai 16 jurus. "Biasanya, pesilat hanya sampai jurus ke 12, karena setelahnya sangat sulit. Saya bersyukur sekali sudah menyelesaikan hingga akhir," ujar dia.


Berharap Beksi mendunia

Anto melihat pertumbuhan positif murid silat Betawi dalam sepuluh tahun terakhir. Minat orang untuk mempelajari ilmu bela diri tradisional itu cenderung meningkat.

"Minat tinggi sekali karena ada tren saat ini untuk menyukai suatu yang klasik," kata dia.

Pada akhir tahun 2013, menurut dia, ada 15 cabang seni silat Beksi yang tersebar di kawasan Tanggerang Selatan dengan jumlah pesilat sekitar 500 orang.

Ia gembira mayoritas pesilat masih berusia muda, antara 15 tahun hingga 20 tahun, dan mereka tetap mau belajar meski aliran seni bela diri itu tidak dipertandingkan secara formal seperti aliran-aliran silat dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).

"Jika anak muda sudah begini, saya optimis silat Betawi bisa mendunia, seperti layaknya karate," demikian Ahmad Daryanto.