Ekonom: utang membengkak jika BBM tak dinaikan
12 November 2014 07:34 WIB
Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Dedi Jaya, Brebes, Jateng, Selasa (11/11). Untuk mengantisipasi aksi borong pembelian BBM bersubsidi menjelang kenaikan BBM, sejumlah SPBU yang berada di jalur pantura Brebes membatasi pembelian BBM terutama yang menggunakan jeriken dan harus menggunakan surat rekomendasi dari dinas terkait. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Kupang (ANTARA News) - Ekonom dari Universitas Widya Mandira Kupang Dr Thomas Ola Langoday mengatakan utang Indonesia di luar negeri semakin membengkak dan subsidi untuk sektor energi semakin tinggi, jika bahan bakar minyak tidak dinaikan.
"Bayangkan untuk saat ini subsidi pemerintah untuk sektor energi mencapai Rp330 triliun. Angka itu, sangat memberatkan anggaran, karena selain itu, negara juga harus membayar utang sebesar Rp400 triliun," katanya di Kupang, Rabu.
Bukan cuma itu, menurut Dekan Fakultas Ekonomi Universitas itu, angka subsidi BBM itu lebih besar daripada subsidi kesehatan dan infrastruktur.
"Setiap tahun negara harus mengeluarkan uang sebesar Rp714,5 triliun untuk subsidi BBM, dan hanya Rp202,6 triliun untuk kesehatan dan Rp577,9 triliun untuk infrastruktur. Padahal subsidi yang justru sangat penting untuk kesehatan, infrastruktur perlu tingkatkan, jauh dengan subsidi BBM itu," katanya.
Karena itu, katanya tidak ada pilihan lain, kecuali BBM dinaikan dengan besaran yang terlebih dahulu mempertimbangkan banyak aspek, terutama aspek kemampuan dan daya beli masyarakat, ketika kebijakan penaikkan diberlakukan.
Karena menurut dia, fakta juga menunjukkan bahwa sekitar 70 persen lebih yang menikmati subsidi tersebut kelas menengah atas, karena tidak ketatnya pengawasan, dan mental pelaksana program kompensasi BBM itu belum direvolusi.
Mantan direktur pascasarjana Fakultas Ekonomi Unwira Kupang itu menyebut riset terkini perusahaan riset dan penyedia informasi mengenai konsumen, Nielsen, menyebutkan pada kuartal ketiga 2014 ini, perhatian masyarakat yang pertama itu soal kenaikan harga BBM, baru kemudian ekonomi dan politik. Tapi fokus utama konsumen yaitu harga BBM.
Berdasarkan hasil survei, katanya pada kuartal kedua 2014, sekitar 34 persen masyarakat menyatakan kekhawatiran utama mereka adalah keadaan ekonomi. Namun, pada kuartal selanjutnya, sebanyak 28 persen masyarakat mengaku kenaikan harga BBM adalah kekhawatiran terbesar mereka.
"Kenaikan harga BBM begitu berdampak signifikan terhadap daya beli konsumen. Karena harga bahan bakar minyak memengaruhi banyak pos pengeluaran lainnya," katanya.
Keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, lanjutnya, berpotensi menurunkan tingkat konsumsi dan kepercayaan diri masyarakat untuk sesaat dan kemudian bisa pulih kembali.
"Bayangkan untuk saat ini subsidi pemerintah untuk sektor energi mencapai Rp330 triliun. Angka itu, sangat memberatkan anggaran, karena selain itu, negara juga harus membayar utang sebesar Rp400 triliun," katanya di Kupang, Rabu.
Bukan cuma itu, menurut Dekan Fakultas Ekonomi Universitas itu, angka subsidi BBM itu lebih besar daripada subsidi kesehatan dan infrastruktur.
"Setiap tahun negara harus mengeluarkan uang sebesar Rp714,5 triliun untuk subsidi BBM, dan hanya Rp202,6 triliun untuk kesehatan dan Rp577,9 triliun untuk infrastruktur. Padahal subsidi yang justru sangat penting untuk kesehatan, infrastruktur perlu tingkatkan, jauh dengan subsidi BBM itu," katanya.
Karena itu, katanya tidak ada pilihan lain, kecuali BBM dinaikan dengan besaran yang terlebih dahulu mempertimbangkan banyak aspek, terutama aspek kemampuan dan daya beli masyarakat, ketika kebijakan penaikkan diberlakukan.
Karena menurut dia, fakta juga menunjukkan bahwa sekitar 70 persen lebih yang menikmati subsidi tersebut kelas menengah atas, karena tidak ketatnya pengawasan, dan mental pelaksana program kompensasi BBM itu belum direvolusi.
Mantan direktur pascasarjana Fakultas Ekonomi Unwira Kupang itu menyebut riset terkini perusahaan riset dan penyedia informasi mengenai konsumen, Nielsen, menyebutkan pada kuartal ketiga 2014 ini, perhatian masyarakat yang pertama itu soal kenaikan harga BBM, baru kemudian ekonomi dan politik. Tapi fokus utama konsumen yaitu harga BBM.
Berdasarkan hasil survei, katanya pada kuartal kedua 2014, sekitar 34 persen masyarakat menyatakan kekhawatiran utama mereka adalah keadaan ekonomi. Namun, pada kuartal selanjutnya, sebanyak 28 persen masyarakat mengaku kenaikan harga BBM adalah kekhawatiran terbesar mereka.
"Kenaikan harga BBM begitu berdampak signifikan terhadap daya beli konsumen. Karena harga bahan bakar minyak memengaruhi banyak pos pengeluaran lainnya," katanya.
Keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, lanjutnya, berpotensi menurunkan tingkat konsumsi dan kepercayaan diri masyarakat untuk sesaat dan kemudian bisa pulih kembali.
Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014
Tags: