Pengendara berkompetisi di jalan karena ruang terbatas
4 November 2014 15:33 WIB
Polisi merazia pengendara sepeda motor yang nekat melintasi jalur busway di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Senin (17/2). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta (ANTARA News) - Keterbatasan ruang membuat para pengendara kendaraan bermotor berkompetisi di jalan raya Jakarta dan kadang sampai melanggar peraturan lalu lintas, kata pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta Rakhmat Hidayat.
"Keterbatasan ruang memunculkan kompetisi sehingga tingkah pengendara yang di luar batas bisa dimaklumi," katanya saat dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, masalah perilaku pengendara yang tidak bertanggung jawab berakar pada tidak berimbangnya pertumbuhan penduduk dan kendaraan dengan pembangunan infrastruktur Ibu Kota.
"Meski ada pembangunan tetap saja tidak mencukupi karena pertambahan penduduk justru berkali lipat. Jadi respons yang diberikan pemerintah selalu tidak bisa mengikuti," kata dia.
Selain itu, Rahmat menjelaskan, kebiasaan pengendara kendaraan bermotor di Jakarta melanggar peraturan lalu lintas juga berkaitan tekanan persaingan untuk hidup yang mempengaruhi kondisi psikologis mereka, membuat mereka tidak peduli dan menganggap wajar pelanggaran.
"Setiap warga Jakarta memiliki alasan untuk melanggar yang dijadikan suatu pembenaran karena tuntutan hidup yang memaksa mereka," kata dia.
Keterbatasan petugas
Pelanggaran peraturan lalu lintas di jalan raya Ibu Kota makin susah ditekan dengan jumlah petugas pengatur lalu lintas yang terbatas.
Sosiolog Devi Rahmawati dari Universitas Indonesia mengatakan jumlah aparat yang terbatas membuat penegakan hukum tidak berjalan dengan konsisten sehingga masyarakat menciptakan norma baru dalam berkendara dan membiarkan pelanggaran lalu lintas.
"Ini sebenarnya sudah sangat berbahaya karena masyarakat tidak sadar bahwa mereka salah," ujar dia.
Aturan yang melarang anak-anak usia kurang dari 17 tahun berkendara di jalan raya, menurut Devi, sekarang banyak dilanggar.
"Ini sudah masuk kategori parah karena anak-anak adalah sosok yang masih labil, sehingga bisa jadi jalanan dijadikan tempat eksplorasi dan tempat bermain. Ini sangat berbahaya," kata dia.
Ia mengatakan pemerintah harus punya mekanisme untuk memastikan warga menaati peraturan lalu lintas.
"Secara alamiah, manusia itu ingin bebas dan mementingkan diri sendiri. Agar kebebasan ini tidak menggangu orang lain maka di sinilah dibutuhkan negara," kata dia.
Menurut dia, pemerintah antara lain perlu memasang kamera pemantau untuk mengawasi lalu lintas kendaraan di jalan raya supaya pengguna jalan merasa terawasi sehingga tidak lagi sembarangan melanggar aturan.
Pemerintah, ia melanjutkan, juga perlu membuat aturan untuk menggiring masyarakat menggunakan alat transportasi massal guna menekan pelanggaran lalu lintas dan dampaknya, seperti mematok tarif parkir dan pajak tinggi bagi kendaraan pribadi serta menghancurkan kendaraan yang sudah tidak layak digunakan.
"Jika masyarakat menyadari bahwa naik kendaraan umum jauh nyaman maka secara tidak langsung akan terbentuk hukum sosial bersama, sehingga masing-masing pribadi akan mau menjaga fasilitas umum," ujar dia.
Ia lantas memuji cara PT Kereta Api Indonesia mengubah budaya masyarakat dalam menggunakan fasilitas publik menjadi lebih teratur dan tertib. Sekarang tidak ada lagi penumpang yang naik atap kereta dan naik kereta tanpa membeli tiket.
"PT KAI berhasil dalam mengubah budaya karena terlebih dahulu mengubah kebiasaan," katanya.
"Keterbatasan ruang memunculkan kompetisi sehingga tingkah pengendara yang di luar batas bisa dimaklumi," katanya saat dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Selasa.
Menurut dia, masalah perilaku pengendara yang tidak bertanggung jawab berakar pada tidak berimbangnya pertumbuhan penduduk dan kendaraan dengan pembangunan infrastruktur Ibu Kota.
"Meski ada pembangunan tetap saja tidak mencukupi karena pertambahan penduduk justru berkali lipat. Jadi respons yang diberikan pemerintah selalu tidak bisa mengikuti," kata dia.
Selain itu, Rahmat menjelaskan, kebiasaan pengendara kendaraan bermotor di Jakarta melanggar peraturan lalu lintas juga berkaitan tekanan persaingan untuk hidup yang mempengaruhi kondisi psikologis mereka, membuat mereka tidak peduli dan menganggap wajar pelanggaran.
"Setiap warga Jakarta memiliki alasan untuk melanggar yang dijadikan suatu pembenaran karena tuntutan hidup yang memaksa mereka," kata dia.
Keterbatasan petugas
Pelanggaran peraturan lalu lintas di jalan raya Ibu Kota makin susah ditekan dengan jumlah petugas pengatur lalu lintas yang terbatas.
Sosiolog Devi Rahmawati dari Universitas Indonesia mengatakan jumlah aparat yang terbatas membuat penegakan hukum tidak berjalan dengan konsisten sehingga masyarakat menciptakan norma baru dalam berkendara dan membiarkan pelanggaran lalu lintas.
"Ini sebenarnya sudah sangat berbahaya karena masyarakat tidak sadar bahwa mereka salah," ujar dia.
Aturan yang melarang anak-anak usia kurang dari 17 tahun berkendara di jalan raya, menurut Devi, sekarang banyak dilanggar.
"Ini sudah masuk kategori parah karena anak-anak adalah sosok yang masih labil, sehingga bisa jadi jalanan dijadikan tempat eksplorasi dan tempat bermain. Ini sangat berbahaya," kata dia.
Ia mengatakan pemerintah harus punya mekanisme untuk memastikan warga menaati peraturan lalu lintas.
"Secara alamiah, manusia itu ingin bebas dan mementingkan diri sendiri. Agar kebebasan ini tidak menggangu orang lain maka di sinilah dibutuhkan negara," kata dia.
Menurut dia, pemerintah antara lain perlu memasang kamera pemantau untuk mengawasi lalu lintas kendaraan di jalan raya supaya pengguna jalan merasa terawasi sehingga tidak lagi sembarangan melanggar aturan.
Pemerintah, ia melanjutkan, juga perlu membuat aturan untuk menggiring masyarakat menggunakan alat transportasi massal guna menekan pelanggaran lalu lintas dan dampaknya, seperti mematok tarif parkir dan pajak tinggi bagi kendaraan pribadi serta menghancurkan kendaraan yang sudah tidak layak digunakan.
"Jika masyarakat menyadari bahwa naik kendaraan umum jauh nyaman maka secara tidak langsung akan terbentuk hukum sosial bersama, sehingga masing-masing pribadi akan mau menjaga fasilitas umum," ujar dia.
Ia lantas memuji cara PT Kereta Api Indonesia mengubah budaya masyarakat dalam menggunakan fasilitas publik menjadi lebih teratur dan tertib. Sekarang tidak ada lagi penumpang yang naik atap kereta dan naik kereta tanpa membeli tiket.
"PT KAI berhasil dalam mengubah budaya karena terlebih dahulu mengubah kebiasaan," katanya.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014
Tags: