Pemerintah diminta beri insentif infrastruktur gas
30 Oktober 2014 18:42 WIB
Seorang petugas berada di antara instalasi pipa gas di Stasiun Offtake Perusahaan Gas Negara (PGN) Kalisogo, Porong, Sidoarjo, Jumat (4/4/14). (ANTARA FOTO/Eric Ireng)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat energi Indonesia Resources Studies Marwan Batubara meminta pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk mendorong pembangunan infrastruktur pipa gas.
"Pembangunan infrastruktur mesti dibarengi insentif yang memadai," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, salah satu prioritas pemerintah ke depan adalah pembangunan infrastruktur seperti kilang, listrik, dan gas.
Menurut Marwan, sesuai Pasal 33 UUD, sumber daya alam termasuk gas bumi harus digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Caranya, menurut dia, adalah memanfaatkan energi tersebut untuk kepentingan domestik baik pembangkit, pupuk, rumah tangga, dan industri lainnya.
"Untuk kepentingan tersebut, sudah tepat kalau pemerintah membangun infrastruktur gas sebanyak-banyaknya seperti pipa, FSRU, dan SPBG," katanya.
Infrastruktur tersebut merupakan upaya mengintegrasikan sektor hulu dan hilir gas, sehingga bisa meningkatkan pasokan di dalam negeri.
Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa kemudahan bea masuk dan tax holiday..
Marwan juga mengatakan, cadangan minyak bumi sudah mulai menipis, sehingga pemerintah mesti mengimpor dalam jumlah yang semakin besar dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, gas bumi masih mempunyai cadangan cukup besar, sehingga bisa digunakan untuk menggantikan minyak bumi.
Saat ini, Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan premium nasional dan solar mencapai 30 persen.
Total impor kedua produk tersebut mencapai 13 juta kiloliter per tahun.
Kebutuhan impor tersebut bakal terus meningkat mengingat pertumbuhan pemakaian BBM nasional mencapai 8-9 per tahun.
Pemerintah, lanjut Marwan, harus segera membuat cetak biru pembangunan infrastruktur gas terintegrasi dengan membuat tahapan waktu dan penanggungjawabnya sehingga ada acuan yang jelas.
Untuk itu, tambahnya, pemerintah bisa memberi kepercayaan kepada BUMN PT Pertamina (Persero) sebagai penanggungjawabnya.
"Pertamina memiliki kemampuan mengelola sektor gas secara terintegrasi dari hulu hingga hilir," katanya.
Saat ini, Pertamina juga salah satu produsen gas terbesar di Indonesia.
Menurut dia, Pertamina bisa bersinergi dengan BUMN lainnya seperti PT PGN Tbk dan badan usaha swasta lainnya untuk mewujudkan pemanfaatan gas sebesar-besarnya bagi kepentingan domestik bisa terwujud.
Dengan demikian, lanjutnya, kemandirian energi yang menjadi tujuan Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan tercapai.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Ahmad Saifun mengatakan, keberadaan infrastruktur merupakan satu-satunya cara meningkatkan penyerapan gas di dalam negeri.
Tanpa infrastruktur, lanjutnya, maka gas tidak bisa dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri dan akan terus diekspor.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan ketersediaan gas untuk pengembangan industri manufaktur belum optimal.
Padahal, gas tersebut dibutuhkan sebagai bahan baku maupun bahan bakar industri seperti pupuk, petrokimia, keramik, semen, dan logam.
Kebutuhan gas industri pada 2015 diperkirakan mencapai 2.400 MMSCFD.
"Pembangunan infrastruktur mesti dibarengi insentif yang memadai," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, salah satu prioritas pemerintah ke depan adalah pembangunan infrastruktur seperti kilang, listrik, dan gas.
Menurut Marwan, sesuai Pasal 33 UUD, sumber daya alam termasuk gas bumi harus digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Caranya, menurut dia, adalah memanfaatkan energi tersebut untuk kepentingan domestik baik pembangkit, pupuk, rumah tangga, dan industri lainnya.
"Untuk kepentingan tersebut, sudah tepat kalau pemerintah membangun infrastruktur gas sebanyak-banyaknya seperti pipa, FSRU, dan SPBG," katanya.
Infrastruktur tersebut merupakan upaya mengintegrasikan sektor hulu dan hilir gas, sehingga bisa meningkatkan pasokan di dalam negeri.
Bentuk insentif yang bisa diberikan bisa berupa kemudahan bea masuk dan tax holiday..
Marwan juga mengatakan, cadangan minyak bumi sudah mulai menipis, sehingga pemerintah mesti mengimpor dalam jumlah yang semakin besar dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, gas bumi masih mempunyai cadangan cukup besar, sehingga bisa digunakan untuk menggantikan minyak bumi.
Saat ini, Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan premium nasional dan solar mencapai 30 persen.
Total impor kedua produk tersebut mencapai 13 juta kiloliter per tahun.
Kebutuhan impor tersebut bakal terus meningkat mengingat pertumbuhan pemakaian BBM nasional mencapai 8-9 per tahun.
Pemerintah, lanjut Marwan, harus segera membuat cetak biru pembangunan infrastruktur gas terintegrasi dengan membuat tahapan waktu dan penanggungjawabnya sehingga ada acuan yang jelas.
Untuk itu, tambahnya, pemerintah bisa memberi kepercayaan kepada BUMN PT Pertamina (Persero) sebagai penanggungjawabnya.
"Pertamina memiliki kemampuan mengelola sektor gas secara terintegrasi dari hulu hingga hilir," katanya.
Saat ini, Pertamina juga salah satu produsen gas terbesar di Indonesia.
Menurut dia, Pertamina bisa bersinergi dengan BUMN lainnya seperti PT PGN Tbk dan badan usaha swasta lainnya untuk mewujudkan pemanfaatan gas sebesar-besarnya bagi kepentingan domestik bisa terwujud.
Dengan demikian, lanjutnya, kemandirian energi yang menjadi tujuan Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan tercapai.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Ahmad Saifun mengatakan, keberadaan infrastruktur merupakan satu-satunya cara meningkatkan penyerapan gas di dalam negeri.
Tanpa infrastruktur, lanjutnya, maka gas tidak bisa dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri dan akan terus diekspor.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan ketersediaan gas untuk pengembangan industri manufaktur belum optimal.
Padahal, gas tersebut dibutuhkan sebagai bahan baku maupun bahan bakar industri seperti pupuk, petrokimia, keramik, semen, dan logam.
Kebutuhan gas industri pada 2015 diperkirakan mencapai 2.400 MMSCFD.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014
Tags: