Komite HAM PBB serukan pemilu terbuka di Hongkong
23 Oktober 2014 21:56 WIB
Pengunjuk rasa menggunakan payung untuk berlindung dari merica yang disemprotkan polisi anti huru-hara saat terjadi bentrok setelah puluhan ribu pengunjuk rasa memblokir jalan utama menuju distrik keuangan di luar markas pemerintahan di Hong Kong, Tiongkok, Minggu (28/9). (REUTERS/Bobby Yip )
Jenewa (ANTARA News) - Komite Hak Asasi Manusia PBB menyerukan kepada Tiongkok, Kamis, untuk memastikan adanya hak pilih universal di Hongkong, serta menekankan bahwa hal itu juga termasuk hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.
Panel yang terdiri atas 18 pakar independen yang memantau kepatuhan terhadap pakta internasional mengenai hak sipil dan politik yang diratifikasi Hongkong, menyepakati langkah tersebut setelah menyuarakan keprihatinan terhadap rencana Beijing untuk menyeleksi kandidat dalam pemilu di bekas koloni Inggris itu.
Komite menyepakati "perlunya memastikan hak pilih universal, yang berarti hak untuk dipilih dan memilih. Keprihatinan utama para anggota komite fokus pada hak untuk dipilih tanpa pembatasan tak beralasan," kata Konstantine Vardzelashvili yang memimpin sesi tersebut dalam kesimpulannya.
Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di Hongkong memprotes rencana pemerintah pusat yang hanya membolehkan kandidat yang setia pada Beijing, bertarung dalam pemilu 2017 untuk memilih pemimpin Hongkong.
Dialog antara pemimpin pelajar dan pejabat senior pemerintah pada Selasa gagal memecahkan kebuntuan.
Christine Chanet, hakim Prancis yang juga menjadi anggota komite HAM PBB mengatakan: "Komite tidak ingin kandidat disaring. Masalahnya Beijing ingin menyeleksi kandidat. Sekarang kami memberikan beberapa tekanan, namun tidak terlalu keras, karena kami sangat membutuhkan kerja sama Tiongkok."
Emily Lau, anggota Dewan Legislatif Hongkong dan ketua Partai Demokratik Hongkong yang menghadiri sesi Jenewa itu menyambut baik sikap komite PBB.
"Satu orang satu suara, tetapi masalahnya adalah kandidatnya sangat terbatas. Komite ini jelas menyatakan bahwa apa yang diajukan Tiongkok tidak sesuai dengan perjanjian, ini bukan hak pilih universal," kata Lau kepada Reuters.
Perjanjian Internasional mengenai hak sipil dan politik, pakta yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 1966, ditandatangani oleh Tiongkok pada 1998 namun tidak pernah diratifikasi. Pakta itu menjamin kebebasan dasar termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri dan pemilu yang bebas.
Law Yuk Kai, direktur Human Rights Monitor Hongkong mengatakan: "Komite dengan tepat menunjuk pada hak untuk ikut bertarung dan masalah pemeriksaan oleh komite penyeleksi yang tidak mewakili masyarakat Hongkong," demikian Reuters.
(S022/H-AK)
Panel yang terdiri atas 18 pakar independen yang memantau kepatuhan terhadap pakta internasional mengenai hak sipil dan politik yang diratifikasi Hongkong, menyepakati langkah tersebut setelah menyuarakan keprihatinan terhadap rencana Beijing untuk menyeleksi kandidat dalam pemilu di bekas koloni Inggris itu.
Komite menyepakati "perlunya memastikan hak pilih universal, yang berarti hak untuk dipilih dan memilih. Keprihatinan utama para anggota komite fokus pada hak untuk dipilih tanpa pembatasan tak beralasan," kata Konstantine Vardzelashvili yang memimpin sesi tersebut dalam kesimpulannya.
Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di Hongkong memprotes rencana pemerintah pusat yang hanya membolehkan kandidat yang setia pada Beijing, bertarung dalam pemilu 2017 untuk memilih pemimpin Hongkong.
Dialog antara pemimpin pelajar dan pejabat senior pemerintah pada Selasa gagal memecahkan kebuntuan.
Christine Chanet, hakim Prancis yang juga menjadi anggota komite HAM PBB mengatakan: "Komite tidak ingin kandidat disaring. Masalahnya Beijing ingin menyeleksi kandidat. Sekarang kami memberikan beberapa tekanan, namun tidak terlalu keras, karena kami sangat membutuhkan kerja sama Tiongkok."
Emily Lau, anggota Dewan Legislatif Hongkong dan ketua Partai Demokratik Hongkong yang menghadiri sesi Jenewa itu menyambut baik sikap komite PBB.
"Satu orang satu suara, tetapi masalahnya adalah kandidatnya sangat terbatas. Komite ini jelas menyatakan bahwa apa yang diajukan Tiongkok tidak sesuai dengan perjanjian, ini bukan hak pilih universal," kata Lau kepada Reuters.
Perjanjian Internasional mengenai hak sipil dan politik, pakta yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 1966, ditandatangani oleh Tiongkok pada 1998 namun tidak pernah diratifikasi. Pakta itu menjamin kebebasan dasar termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri dan pemilu yang bebas.
Law Yuk Kai, direktur Human Rights Monitor Hongkong mengatakan: "Komite dengan tepat menunjuk pada hak untuk ikut bertarung dan masalah pemeriksaan oleh komite penyeleksi yang tidak mewakili masyarakat Hongkong," demikian Reuters.
(S022/H-AK)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Tags: