Kenaikan harga BBM picu momen tepat investasi properti
7 Oktober 2014 00:09 WIB
Investasi Properti. Sebuah helikopter milik TNI AL melintas di depan pembangunan sejumlah gedung bertingkat di Pluit, Jakarta Utara, Minggu (9/6). Menurut lembaga riset dan konsultan PricewaterhouseCoopers dan Urban Land Institute menyatakan bahwa Jakarta adalah salah satu kota yang paling menarik untuk investasi properti seperti apartemen, rumah tinggal, dan gedung perkantoran di kawasan Asia Pasifik. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) ()
Surabaya (ANTARA News) - Perusahaan pengembang PT Prioritas Land Indonesia (PLI) menyatakan rencana kenaikan harga BBM memicu lonjakan inflasi sehingga merupakan momen yang tepat untuk berinvestasi di sektor properti.
"Normalnya kenaikan rata-rata properti tesebut per tahun hanya 5 persen hingga 10 persen, sebab adanya penambahan fasilitas pada rumah atau apartemen yang dijual. Namun dengan adanya kenaikan inflasi akibat lonjakan harga BBM, kenaikan harga rata-rata properti cukup besar," kata Komisaris PLI Victor Irawan dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Senin malam.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan secara bertahap supaya tidak terlalu membebani warga.
Ia berpendapat, waktu yang tepat untuk berinvestasi di sektor properti adalah saat menjelang terjadinya kenaikan harga BBM yang diprediksi akan dilakukan pada November tahun 2014 ini atau setelah berjalannya kabinet yang baru.
"Sebetulnya, kita bisa berinvestasi di sektor apa saja, namun melihat fenomena belakangan ini, investasi yang paling aman adalah sektor properti," katanya.
Hal itu, ujar Victor, antara lain karena harga properti tidak pernah turun dan risikonya cenderung kecil.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda meminta Pemerintah mesti membantu rakyat seperti kelas menengah perkotaan guna jangan "terjebak" dengan minimnya opsi pembelian properti untuk tempat tinggal.
"Saat ini kaum menengah dalam posisi terjebak dengan ketersediaan hunian yang ada," kata Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (25/9).
Ali mencontohkan, seseorang dengan penghasilan sekitar Rp7,5 juta per bulan hanya memiliki daya cicil (bila mengambil KPR) sekitar Rp2,5 juta per bulan.
Dengan daya cicil itu, ujar dia, artinya mereka hanya dapat memiliki rumah sekitar Rp300 juta namun rumah tersebut tersedia dengan jarak yang dinilai relatif jauh dari kota.
"Jebakan yang terjadi ketika mereka memaksakan membeli rumah tersebut, karena masih berpikir ingin mempunyai rumah dengan tanah, ternyata mereka harus menambah biaya transportasi ke tempat kerja," katanya.
Ia menegaskan, jebakan itu terealisasi karena masalah waktu tempuh yang diakibatkan kemacetan antara lokasi rumah-tempat kerja mengakibatkan mereka terpaksa meninggalkan rumah tersebut dan lebih memilih untuk sewa atau kos-kosan di Jakarta.
Untuk itu, Direktur Eksekutif IPW menegaskan pemerintah harus segera turun tangga untuk membangun pasokan hunian vertikal di perkotaan untuk segmen menengah.
"Karenanya pemerintah harus segera membuat terobosan bagi ketersediaan hunian karyawan menengah ini," tegasnya. (M040/B012)
"Normalnya kenaikan rata-rata properti tesebut per tahun hanya 5 persen hingga 10 persen, sebab adanya penambahan fasilitas pada rumah atau apartemen yang dijual. Namun dengan adanya kenaikan inflasi akibat lonjakan harga BBM, kenaikan harga rata-rata properti cukup besar," kata Komisaris PLI Victor Irawan dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Senin malam.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan secara bertahap supaya tidak terlalu membebani warga.
Ia berpendapat, waktu yang tepat untuk berinvestasi di sektor properti adalah saat menjelang terjadinya kenaikan harga BBM yang diprediksi akan dilakukan pada November tahun 2014 ini atau setelah berjalannya kabinet yang baru.
"Sebetulnya, kita bisa berinvestasi di sektor apa saja, namun melihat fenomena belakangan ini, investasi yang paling aman adalah sektor properti," katanya.
Hal itu, ujar Victor, antara lain karena harga properti tidak pernah turun dan risikonya cenderung kecil.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda meminta Pemerintah mesti membantu rakyat seperti kelas menengah perkotaan guna jangan "terjebak" dengan minimnya opsi pembelian properti untuk tempat tinggal.
"Saat ini kaum menengah dalam posisi terjebak dengan ketersediaan hunian yang ada," kata Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (25/9).
Ali mencontohkan, seseorang dengan penghasilan sekitar Rp7,5 juta per bulan hanya memiliki daya cicil (bila mengambil KPR) sekitar Rp2,5 juta per bulan.
Dengan daya cicil itu, ujar dia, artinya mereka hanya dapat memiliki rumah sekitar Rp300 juta namun rumah tersebut tersedia dengan jarak yang dinilai relatif jauh dari kota.
"Jebakan yang terjadi ketika mereka memaksakan membeli rumah tersebut, karena masih berpikir ingin mempunyai rumah dengan tanah, ternyata mereka harus menambah biaya transportasi ke tempat kerja," katanya.
Ia menegaskan, jebakan itu terealisasi karena masalah waktu tempuh yang diakibatkan kemacetan antara lokasi rumah-tempat kerja mengakibatkan mereka terpaksa meninggalkan rumah tersebut dan lebih memilih untuk sewa atau kos-kosan di Jakarta.
Untuk itu, Direktur Eksekutif IPW menegaskan pemerintah harus segera turun tangga untuk membangun pasokan hunian vertikal di perkotaan untuk segmen menengah.
"Karenanya pemerintah harus segera membuat terobosan bagi ketersediaan hunian karyawan menengah ini," tegasnya. (M040/B012)
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: