Yogyakarta (ANTARA News) - Dikembalikannya pemilihan kepala daerah melalui DPRD merupakan sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia, kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Mada Sukmajati.

"Bahkan menjadi kemunduran dari desentralisasi atau otonomi daerah," kata dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, satu poin penting diberlakukannya otonomi daerah adalah terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal. Dengan demikian, dikembalikannya pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD itu menjadi sangat problematik.

"Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada itu sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Saya kira hal itu merupakan blunder terbesar, justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau," katanya.

Ia mengatakan belajar dari RUU Pilkada itu tidak menutup kemungkinan akan ada proses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru dan tidak berdasar dari hasil studi empiris.

"Hal itu tidak bagus untuk perdebatan di kalangan rakyat karena dimensi pembelajarannya sangat rendah. Proses pengambilan kebijakan seperti itu sangat bias kepentingan elit politik," katanya.

Menurut dia, pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung memang tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional. Namun yang menjadi persoalannya adalah dari sisi proses pengambilan kebijakan.

Hal itu menjadi persoalan karena tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan di masyarakat mengenai dikembalikannya pilkada melalui DPRD.

"Secara konstitusi tidak ada yang dilanggar, tetapi dari sisi proses sampai RUU Pilkada itu disahkan sangat problematik dan hanya bersifat prosedural. Dibahas intensif dua bulan ini pascapilpres," katanya.

Rapat paripurna DPR RI akhirnya menyetujui RUU Pilkada dengan opsi pilkada dikembalikan pada DPRD, setelah diputuskan melalui mekanisme voting.
(B015/R010)