Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk tidak bersikap lunak dalam melakukan pembicaraan dengan Presiden George W. Bush yang akan datang ke Indonesia, seusai mengikuti Sidang APEC di Vietnam, akhir November ini. Demikian penegasan dua Anggota Komisi I DPR, yakni Andreas H Pareira (Fraksi PDI Perjuangan) dan Dedy Djamaluddin Malik (Fraksi PAN), yang dihubungi terpisah di Jakarta, Jumat. Dedy Djamaluddin Malik dengan tegas menyatakan Presiden Yudhoyono jangan bersikap lunak terhadap AS, sehingga pemerintahannya nanti bisa dianggap sebagai "`boneka"-nya AS. Senada dengan itu, Andreas Pareira memperingatkan agar Indonesia tetap harus menunjukkan sikap independen, sehingga AS tak boleh dibiarkan menentukan kepentingan Indonesia. "Kita bebas menentukan arah politik luar negeri secara bebas dan aktif, sehingga jangan mau didikte siapa pun," tambah Andreas Pareira, kendati dia mengakui, AS merupakan kekuatan eksternal sangat berpengaruh di Asia Timur dan Asia Tenggara. Secara terpisah, Dedy berpendapat seharusnya setiap kunjungan seorang kepala negara dari luar, bisa memberi manfaat kepada rakyat. "Sekarang kan rakyat masih butuh lapangan kerja, otomatis kita butuh investasi. Untuk itu, perlu pengusaha, tetapi pengusaha asing juga butuh rasa aman. Itu yang kita perlukan. Jadi, kehadiran Bush tak memberi itu, percuma," kata Dedy . Andreas sendiri menduga, agenda pembicaraan bakal berkaitan dengan penyeimbangan kekuatan regional, sebab, sebagai kekuatan eksternal paling berpengaruh di Asia Timur dan Asia Tenggara, AS tak mau kehilangan itu. "Terkait kunjungan Presiden Yudhoyono ke China baru-baru ini, tentu ada pengaruhnya terhadap AS. Pemerintahan Bush tentu tidak mau kehilangan pengaruh yang kuat di wilayah ini. Jangan sampai diambil alih China," katanya. Akan tetapi, sekali lagi Andreas mengingatkan Susilo Bambang Yudhoyono, agar menunjukkan sikap independen, bebas dan aktif menentukan orientasi perpolitikan internasionalnya. Mengenai agenda pemberantasan terorisme, menurut Andreas Pareira, hal itu bukan lagi faktor utama. "Agenda utama ialah ekonomi dan regional security. Di dalam regional security inilah tercakup terorisme," kata Andreas H Pareira. (*)