Normalisasi kebijakan AS sebabkan kekhawatiran pasar
18 September 2014 19:42 WIB
Rakor Nilai Lindung Ketua BPK Rizal Djalil (tengah) bersama Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kiri) menyimak paparan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat koordinasi lanjutan tentang nilai lindung (hedging) di Jakarta, Rabu (17/9). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) ()
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan isu normalisasi kebijakan moneter dari The Fed (Bank Sentral AS) menyebabkan kekhawatiran dari para pelaku pasar keuangan dan mendorong terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
"Saya kira isunya bukan lagi current account, melainkan concern normalisasi kebijakan Amerika Serikat," kata Menkeu saat dihubungi dari Hong Kong di Jakarta, Kamis.
Menkeu menjelaskan negara-negara yang masuk dalam "fragile five", termasuk Indonesia, sedang menghadapi risiko dari normalisasi kebijakan The Fed karena berpotensi menyebabkan dana asing keluar dari negara berkembang.
Menurut dia, potensi terjadinya volatilitas di Indonesia sangat tinggi karena arus modal asing masuk cukup deras setelah investor melihat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki stabilitas politik dan fundamental ekonomi baik.
"Kalau capital inflow masuk banyak, makin besar risiko untuk return. Akan tetapi, kalau tidak banyak (kepemilikan asing) dalam portfolio, yang keluar juga tidak terlalu banyak," kata Menkeu.
Indonesia, yang saat ini instrumen obligasinya sebesar 37 persen dimiliki investor asing, harus menyiapkan diri agar dana asing tidak keluar terlalu tinggi dan mata uang rupiah tidak lagi bergejolak dalam menghadapi respons pelaku pasar.
Untuk itu, agar Indonesia tidak terlalu tergantung dari modal asing, sangat penting untuk mencari sumber pembiayaan baru atau melakukan diversifikasi, yaitu dengan memberikan prioritas bagi penerbitan obligasi dalam negeri.
"Kita perkuat pasar domestik agar tidak bergantung dari foreign flow. Saya sudah bicara soal dana haji dan BPJS, serta meminta pak Robert (Dirjen Pengelolaan Utang) untuk melakukan diversifikasi sumber pembiayaan," tambah Menkeu.
Selain itu, hal yang lain yang dapat diupayakan adalah menjaga defisit anggaran agar tidak terlalu melebar sehingga sumber pembiayaan dari pinjaman maupun penerbitan surat utang tidak terlalu banyak dan bisa dikendalikan.
"Solusinya, budget deficit jangan terlalu besar, kalau tidak terlalu besar, pembiayaannya juga kecil, apalagi kalau dari pembiayaan yang kecil itu sebagian berasal dari domestik," jelas Menkeu.
(S034/D007)
"Saya kira isunya bukan lagi current account, melainkan concern normalisasi kebijakan Amerika Serikat," kata Menkeu saat dihubungi dari Hong Kong di Jakarta, Kamis.
Menkeu menjelaskan negara-negara yang masuk dalam "fragile five", termasuk Indonesia, sedang menghadapi risiko dari normalisasi kebijakan The Fed karena berpotensi menyebabkan dana asing keluar dari negara berkembang.
Menurut dia, potensi terjadinya volatilitas di Indonesia sangat tinggi karena arus modal asing masuk cukup deras setelah investor melihat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki stabilitas politik dan fundamental ekonomi baik.
"Kalau capital inflow masuk banyak, makin besar risiko untuk return. Akan tetapi, kalau tidak banyak (kepemilikan asing) dalam portfolio, yang keluar juga tidak terlalu banyak," kata Menkeu.
Indonesia, yang saat ini instrumen obligasinya sebesar 37 persen dimiliki investor asing, harus menyiapkan diri agar dana asing tidak keluar terlalu tinggi dan mata uang rupiah tidak lagi bergejolak dalam menghadapi respons pelaku pasar.
Untuk itu, agar Indonesia tidak terlalu tergantung dari modal asing, sangat penting untuk mencari sumber pembiayaan baru atau melakukan diversifikasi, yaitu dengan memberikan prioritas bagi penerbitan obligasi dalam negeri.
"Kita perkuat pasar domestik agar tidak bergantung dari foreign flow. Saya sudah bicara soal dana haji dan BPJS, serta meminta pak Robert (Dirjen Pengelolaan Utang) untuk melakukan diversifikasi sumber pembiayaan," tambah Menkeu.
Selain itu, hal yang lain yang dapat diupayakan adalah menjaga defisit anggaran agar tidak terlalu melebar sehingga sumber pembiayaan dari pinjaman maupun penerbitan surat utang tidak terlalu banyak dan bisa dikendalikan.
"Solusinya, budget deficit jangan terlalu besar, kalau tidak terlalu besar, pembiayaannya juga kecil, apalagi kalau dari pembiayaan yang kecil itu sebagian berasal dari domestik," jelas Menkeu.
(S034/D007)
Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Tags: