Mentan: tantangan pertanian makin berat
8 September 2014 07:32 WIB
Menteri Pertanian Suswono menandatangani prasasti peresmian penggilingann padi terpadu PT Lumbung Padi Indonesia (LPI) di Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (7/9) didampingi Wagub Jatim Saifullah Yusuf dan Bupati Mojokerto Mustafa Kemal Pasha, serta Komisaris Utama LPI Rachmat Gobel. (antaranews.com/Risbiani)
Mojokerto (ANTARA News) - Menteri Pertanian Suswono mengingatkan bahwa tantangan pengembangan pertanian makin berat, tidak hanya tuntutan peningkatan produktivitas dan efisiensi, tapi juga kesiapan menghadapi persaingan bebas di kawasan Asia Tenggara.
"Pada 31 Desember 2015 kita masuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang berarti kita menghadapi tantangan daya saing," kata Menteri Suswono di Mojokerto, Jawa Timur, Minggu.
Ia mengatakan dalam cetak biru MEA, pengembangan pangan dan pertanian didorong untuk memperkuat perdagangan intra dan ekstra ASEAN, serta daya saing produk.
Sayangnya, menurut dia, daya saing Indonesia, khususnya di bidang pertanian masih di urutan ke-6, karena sejumlah tantangan belum diatasi, antara lain terkait produktivitas, peningkatan jumlah lahan pertanian, efisiensi dengan menekan tingkat potensi kehilangan hasil (losses) pascapanen.
Ia mencontohkan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan penambahan lahan pertanian seluas dua juta hektare, namun sulit terealisasi, terkait regulasi.
Bahkan, kata dia, pemanfaatan lahan terlantar hanya bisa terealisasi 13 ribu hektare, dari sekitar dua juta hektare. "Jadi, harus ada pembenahan regulasi," katanya.
Oleh karena itu, ia mendukung rencana presiden terpilih 2014, Joko Widodo untuk melakukan ekstensifikasi lahan.
Selain soal lahan, lanjut Suswono, Indonesia juga perlu lebih meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang saat ini rata-rata 5,1-5,2 juta ton gabah per hektare.
Peningkatan produktivitas tersebut, kata dia harus pula didukung oleh pengembangan teknologi pasca panen, agar tingkat kehilangan hasil yang mencapai 30 persen bisa ditekan.
"Modernisasi (pascapanen) inilah, yang bisa memberikan nilai tambah dan menekan losses (susut)," ujar Suswono.
Oleh karena itu, ia menilai keberadaan PT Lumbung Padi Indonesia (LPI) sebagai penggilingan padi dan pengolahan beras terpadu perlu didukung, dan penyebarannya perlu diperluas untuk meningkatkan daya saing pangan nasional.
Sementara itu, Komisaris Utama LPI Rachmat Gobel mengatakan sebagai swasta yang menjadi bagian dari pemangku kepentingan untuk membantu peningkatan kesejahteraan petani, LPI ingin menjadi mitra strategis petani.
"Kami bermitra dengan kelompok-kelompok tani untuk membeli hasil panen mereka," katanya. Ia menjamin LPI akan membeli gabah sesuai bahkan di atas harga pasar.
LPI menggunakan teknologi penggilingan padi dari Jepang. Rachmat Gobel bersama rekannya Fara Luwia menggandeng Satake membangun penggilingan gabah dan pengolahan beras terpadu dengan tingkat kehilangan hasil kurang dari lima persen dan tidak ada limbah (zero waste).
Bahkan, rencananya, kata Fara yang menjadi Dirut LPI, perusahaan tersebut juga akan mengembangkan produk turunan beras, seperti pakan, tepung, minyak, dan bihun.
"Pada 31 Desember 2015 kita masuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang berarti kita menghadapi tantangan daya saing," kata Menteri Suswono di Mojokerto, Jawa Timur, Minggu.
Ia mengatakan dalam cetak biru MEA, pengembangan pangan dan pertanian didorong untuk memperkuat perdagangan intra dan ekstra ASEAN, serta daya saing produk.
Sayangnya, menurut dia, daya saing Indonesia, khususnya di bidang pertanian masih di urutan ke-6, karena sejumlah tantangan belum diatasi, antara lain terkait produktivitas, peningkatan jumlah lahan pertanian, efisiensi dengan menekan tingkat potensi kehilangan hasil (losses) pascapanen.
Ia mencontohkan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan penambahan lahan pertanian seluas dua juta hektare, namun sulit terealisasi, terkait regulasi.
Bahkan, kata dia, pemanfaatan lahan terlantar hanya bisa terealisasi 13 ribu hektare, dari sekitar dua juta hektare. "Jadi, harus ada pembenahan regulasi," katanya.
Oleh karena itu, ia mendukung rencana presiden terpilih 2014, Joko Widodo untuk melakukan ekstensifikasi lahan.
Selain soal lahan, lanjut Suswono, Indonesia juga perlu lebih meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang saat ini rata-rata 5,1-5,2 juta ton gabah per hektare.
Peningkatan produktivitas tersebut, kata dia harus pula didukung oleh pengembangan teknologi pasca panen, agar tingkat kehilangan hasil yang mencapai 30 persen bisa ditekan.
"Modernisasi (pascapanen) inilah, yang bisa memberikan nilai tambah dan menekan losses (susut)," ujar Suswono.
Oleh karena itu, ia menilai keberadaan PT Lumbung Padi Indonesia (LPI) sebagai penggilingan padi dan pengolahan beras terpadu perlu didukung, dan penyebarannya perlu diperluas untuk meningkatkan daya saing pangan nasional.
Sementara itu, Komisaris Utama LPI Rachmat Gobel mengatakan sebagai swasta yang menjadi bagian dari pemangku kepentingan untuk membantu peningkatan kesejahteraan petani, LPI ingin menjadi mitra strategis petani.
"Kami bermitra dengan kelompok-kelompok tani untuk membeli hasil panen mereka," katanya. Ia menjamin LPI akan membeli gabah sesuai bahkan di atas harga pasar.
LPI menggunakan teknologi penggilingan padi dari Jepang. Rachmat Gobel bersama rekannya Fara Luwia menggandeng Satake membangun penggilingan gabah dan pengolahan beras terpadu dengan tingkat kehilangan hasil kurang dari lima persen dan tidak ada limbah (zero waste).
Bahkan, rencananya, kata Fara yang menjadi Dirut LPI, perusahaan tersebut juga akan mengembangkan produk turunan beras, seperti pakan, tepung, minyak, dan bihun.
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014
Tags: