Kelompok HAM serukan embargo senjata untuk Sudan Selatan
4 September 2014 16:59 WIB
Seorang anak yang menderita gizi buruk diukur badannya di pusat pemberian makanan Medecins Sans Frontieres (Dokter Tanpa Batas/MSF) di Leer, Negara Bagian Kesatuan, Sudan Selatan, Rabu (16/7). (ANTARA FOTO/REUTERS/Andreea Campeanu/ox/14.)
Addis Ababa (ANTARA News) - Kelompok hak asasi manusia Sudan Selatan, Kamis, menyerukan embargo senjata internasional bagi negara yang tengah berkecamuk itu, karena persenjataan bernilai jutaan dolar yang baru dibeli semakin memperparah perang sipil yang telah berlangsung selama sembilan bulan.
"Selama senjata-senjata ini diimpor ke Sudan Selatan, mereka akan digunakan untuk melakukan kejahatan," demikian petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 30 organisasi Sudan Selatan maupun internasional, seperti dilaporkan AFP.
Termasuk di antara kelompok-kelompok HAM yang menandatangani petisi, yang menyerukan "embargo senjata segera", itu adalah Masyarakat Hukum dan Hak Asasi Manusia Sudan Selatan. Sementara kelompok HAM internasional di antaranya Amnesti Internasional, Global Witness, dan Human Rights Watch.
Ribuan orang tewas dan lebih dari 1,8 juta lainnya mengungsi menghindari perang sipil di negara itu, yang dipicu oleh perebutan kekuasaan antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya Riek Machar.
Para pekerja sosial memperingatkan terjadinya kelaparan jika pertempuran terus berlanjut.
"Kedua belah pihak dalam konflik ini telah menggunakan senjata-senjata ringan untuk melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan," kata petisi tersebut, yang dikirim ke blok Afrika timur IGAD dan menyerukan agar mereka mengajukan permohonan pelarangan ke Dewan Keamanan PBB.
"Ini termasuk menyasar pribadi-pribadi termasuk wanita dan anak-anak, berdasar etnis mereka, dan membunuh warga sipil yang mengungsi ke rumah sakit serta tempat-tempat ibadah."
IGAD menjadi penengah dalam pembicaraan antara pemerintah dan kelompok pemberontak yang masih menemui jalan buntu, namun blok ini juga terjebak dalam konflik itu sendiri, termasuk Uganda yang mengirim tentaranya untuk mendukung pemerintahan Juba.
Senapan dan amunisi dari Sudan, salah satu produsen senjata utama di Afrika, digunakan oleh pasukan dari kedua belah pihak yang berseteru. Pengapalan senjata-senjata itu juga transit melalui Kenya.
Kesepakatan gencatan senjata keempat yang ditengahi oleh IGAD bulan lalu dilanggar hanya sehari setelah disepakati, ketika kelompok bersenjata menembak jatuh helikopter PBB sehingga menewaskan tiga awaknya dari Rusia.
"Urgensi embargo senjata ini digarisbawahi oleh kejadian-kejadian bulan lalu: sebuah helikopter PBB ditembak jatuh, pembunuhan terus berlanjut termasuk terhadap pekerja sosial, dan upaya-upaya untuk memastikan kedua belah pihak berhenti membunuh warga sipil telah gagal," imbuh petisi itu.
Para pakar persenjataan memastikan bahwa pengapalan senjata baru-baru ini senilai 38 juta dolar termasuk rudal anti-tank, peluncur granat, dan senapan serbu, dipasok oleh Tiongkok untuk pihak pemerintah.
Tiongkok, anggota DK PBB dan pemain utama dalam bidang perminyakan Sudan Selatan, mendukung pembicaraan damai yang dilakukan IGAD di Ethiopia.
(Uu.S022)
"Selama senjata-senjata ini diimpor ke Sudan Selatan, mereka akan digunakan untuk melakukan kejahatan," demikian petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 30 organisasi Sudan Selatan maupun internasional, seperti dilaporkan AFP.
Termasuk di antara kelompok-kelompok HAM yang menandatangani petisi, yang menyerukan "embargo senjata segera", itu adalah Masyarakat Hukum dan Hak Asasi Manusia Sudan Selatan. Sementara kelompok HAM internasional di antaranya Amnesti Internasional, Global Witness, dan Human Rights Watch.
Ribuan orang tewas dan lebih dari 1,8 juta lainnya mengungsi menghindari perang sipil di negara itu, yang dipicu oleh perebutan kekuasaan antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya Riek Machar.
Para pekerja sosial memperingatkan terjadinya kelaparan jika pertempuran terus berlanjut.
"Kedua belah pihak dalam konflik ini telah menggunakan senjata-senjata ringan untuk melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan," kata petisi tersebut, yang dikirim ke blok Afrika timur IGAD dan menyerukan agar mereka mengajukan permohonan pelarangan ke Dewan Keamanan PBB.
"Ini termasuk menyasar pribadi-pribadi termasuk wanita dan anak-anak, berdasar etnis mereka, dan membunuh warga sipil yang mengungsi ke rumah sakit serta tempat-tempat ibadah."
IGAD menjadi penengah dalam pembicaraan antara pemerintah dan kelompok pemberontak yang masih menemui jalan buntu, namun blok ini juga terjebak dalam konflik itu sendiri, termasuk Uganda yang mengirim tentaranya untuk mendukung pemerintahan Juba.
Senapan dan amunisi dari Sudan, salah satu produsen senjata utama di Afrika, digunakan oleh pasukan dari kedua belah pihak yang berseteru. Pengapalan senjata-senjata itu juga transit melalui Kenya.
Kesepakatan gencatan senjata keempat yang ditengahi oleh IGAD bulan lalu dilanggar hanya sehari setelah disepakati, ketika kelompok bersenjata menembak jatuh helikopter PBB sehingga menewaskan tiga awaknya dari Rusia.
"Urgensi embargo senjata ini digarisbawahi oleh kejadian-kejadian bulan lalu: sebuah helikopter PBB ditembak jatuh, pembunuhan terus berlanjut termasuk terhadap pekerja sosial, dan upaya-upaya untuk memastikan kedua belah pihak berhenti membunuh warga sipil telah gagal," imbuh petisi itu.
Para pakar persenjataan memastikan bahwa pengapalan senjata baru-baru ini senilai 38 juta dolar termasuk rudal anti-tank, peluncur granat, dan senapan serbu, dipasok oleh Tiongkok untuk pihak pemerintah.
Tiongkok, anggota DK PBB dan pemain utama dalam bidang perminyakan Sudan Selatan, mendukung pembicaraan damai yang dilakukan IGAD di Ethiopia.
(Uu.S022)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014
Tags: