Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Dalam Negeri berharap pelaksanaan pemilu kepala daerah secara langsung dapat menghemat hingga separuh dari anggaran yang biasa digunakan untuk pelaksanaan pilkada, kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan di Jakarta, Senin.

"Dari segi penyelenggaraan, pilkada yang murah adalah pilkada yang dilakukan secara serentak. Jadi biayanya murah, sehingga dana pilkada bisa turun secara signifikan sampai 50 bahkan 60 persen," kata Djohermansyah.

Namun, penghematan biaya pilkada dengan sistem serentak tersebut tidak akan maksimal tanpa pengaturan pembatasan belanja kampanye oleh lembaga penyelenggara pemilu.

Oleh karena itu, dia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengoptimalkan lagi kebijakan mengatur kampanye dan belanja kampanye oleh peserta pilkada.

Pemerintah akhirnya sepakat dengan usulan DPR RI untuk mengadopsi sistem Pilkada secara langsung, baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Tadinya, pemerintah menginginkan dalam RUU Pilkada diatur sistem pemilihan lewat DPRD untuk Pilgub dan pilkada langsung untuk memilih bupati dan wali kota.

Namun dalam pembahasannya, yang berlangsung selama hampir dua tahun, dinamika pencarian sistem pilkada yang dinilai tepat untuk Indonesia terus bergulir.

Pemerintah dan DPR RI pelaksanaan pemilu gubernur secara langsung, di luar dari usulan awal Kemendagri dalam RUU Pilkada. Kemudian, pemerintah mengubah usulan sistem pilkada bupati dan wali kota yang awalnya langsung menjadi melalui DPRD.

"Salah satu alasannya adalah untuk efektivitas penyelenggaraan pemilu serentak. Kalau nanti pilkada dilakukan serentak, maka akan menjadi kurang efektif jika pemilihan gubernur berjalan secara langsung sedangkan bupati dan wali kota tidak," tambah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri itu.

Rencananya, pelaksanaan pemilu serentak akan berlangsung secara bertahap yaitu pada 2015 sebanyak 204 pilkada, tahun 2018 ada 285 daerah dan pada akhirnya tahun 2020 dapat terwujud pelaksanaan pilkada serentak di seluruh Indonesia.