Jakarta (ANTARA News) - Office Boy PT Rifuel, Hendra Saputra dijatuhi vonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan UKM.
"Menyatakan terdakwa Hendra Saputra terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu tahun dan denda Rp50 juta rupiah, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan satu bulan," ketua majelis hakim Nani Indrawati dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tuntutan itu lebih ringan dari tuntutan tim jaksa Kejaksaan Agung yang meminta Hendra dihukum 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 Juta subsider enam bulan kurungan.
Hendra sendiri didakwa pasal 2 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda Rp200 juta sampai Rp1 miliar.
"Namun majelis menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan menyimpangi ketentuan minimum pasal 2 ayat 1 tersebut dengan pertimbangan bahwa terdakwa Hendra Saputra sebenarnya adalah alat yang digunakan saksi Riefan Avrian dalam memenuhi niatnya untuk mengikuti dan memenangkan pekerjaan Videotron pada gedung Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2012, sehingga terdakwa Hendra Saputra adalah korban atas rekayasa yang diskenariokan oleh saksi Riefan Avrian," tambah Nani.
Namun hakim juga mendapati hal-hal yang memberatkan dalam diri Hendra.
"Hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa bertindak ceroboh dengan bersedia melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaannya hanya dengan alasan takut kehilangan pekerjaan," ungkap Nani.
Sedangkan hal-hal yang meringankan adalah Hendra belum pernah dihukum, bersikap lugu dan memberikan keterangan lugas sehingga mempermudah pengungkapan kasus ini.
"Keterbatasan pendidikan terdakwa membuatnya mudah diperdaya oleh orang lain dan keterbatasan pendidikan membuat terdakwa mudah diperdaya," jelas Nani.
Terhadap putusan itu, ada satu orang anggota majelis hakim yaitu Sofialdi mengajukan pendapat yang berbeda.
"Unsur menyalahgunakan kewenangan tidak terpenuhi, keuangan perusahaan juga sepenuhnya diserahkan pada Rievan. Pekerjaan diserahkan sepenuhnya oleh Rievan selaku direktur utama," kata hakim Sofialdi.
Sofialdi juga menilai bahwa dalam persidangan terungkap fakta Hendra diminta melarikan diri ke Samarinda Kalimantan Timur untuk menghindari proses hukum dan selama melarikan diri terdakwa tinggal di rumah paman Rievan Arvian.
Terungkap juga bahwa saksi Dandy telah membeli perusahaan PT Imaji Media dari saksi Rievan dan telah mengeluarkan uang Rp100 juta dan saat ditanyakan keberadaan direktur dan komisaris perusahaan dijawab Rievan tidak ada masalah.
"Dari sini dapat disimpulkan bahwa Direktur Utama PT Rifuel, Rievan telah memanfaatkan karyawannya yang bernama Hendra Saputra untuk merealiasikan keinginannya dalam rangka mendapatkan proyek di Kementerian Koperasi," ungkap Sofialdi.
Apalagi dalam sidang Rievan juga mengakui perbuatannya dan siap mempertanggungjawabkan pengadaan videotron yang menjadi kasus ke persidangan.
"Dari sejumlah pertimbangan di atas maka hakim anggota dua, unsur menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada pada terdakwa Hendra Saputra tidak terpenuhi dan terbukti. Menimbang hal tersebut maka terdakwa harus dibebaskan dalam dakwaan primer dan subsider dan dibebaskan dari tahanan," tegas Sofialdi.
Atas putusan tersebut baik kuasa hukum Hendra maupun jaksa Kejaksaan Agung menyatakan pikir-pikir.
(D017/R021)
Hendra divonis satu tahun penjara korupsi videotron
27 Agustus 2014 21:25 WIB
Vonis Kasus Videotron Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek videotron Hendra Saputra menjalani sidang dengan agenda putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). (ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A) ()
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Tags: