Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha menilai pemerintahan baru harus mengubah paradigma subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dalam beberapa tahun terakhir semakin menjadi beban dalam APBN dan membuat ruang fiskal semakin sempit.

"Ada yang bilang kalau ruang fiskal pemerintahan yang baru itu sempit, itu karena tidak mengubah paradigma subsidi dari subsidi harga ke targeted subsidies (subsidi orang)," ujar Satya di Jakarta, Senin.

Menurut Satya, pemerintahan baru dapat memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melaksanakan program-program yang dicanangkan presiden terpilih. Penghematan sekitar Rp200 triliun dapat dilakukan jika paradigma subsidi BBM diubah.

"Jadi kalau itu berubah menjadi targeted subsidies yang diusulkan oleh Golkar, itu Rp200 triliun bisa kita saving (simpan). Uda bisa 'mandi' itu untuk belanja macam-macam," kata Satya.

Ia menuturkan, dengan pola targeted subsidies, pemerintah tinggal fokus memberikan subsidi BBM kepada sekitar 71 juta orang yang layak sebagaimana data Kemenkokesra, sembari terus menjalankan program konversi BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas).

"Berani tidak presiden nanti melakukan targeted subsidies itu supaya ruang fiskalnya ada. Kalau dia bilang dia masih seneng impor BBM, ya kalau ruang fiskalnya sempit jangan disalahkan. Anda berarti masih menggunakan cara-cara lama," ujar Satya.

Satya menambahkan, masalah impor BBM yang masih tinggi dan mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan terus terjadi, dapat menjadi momentum bagi pemerintahan baru untuk membuktikan bahwa mereka dapat membuat keuangan Indonesia lebih baik.

"Dengan targeted subsidies itu, neraca transaksi berjalan kita bisa positif," kata Satya.

Anggaran subsidi BBM sendiri pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 mencapai Rp291,11 triliun. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan asumsi yang ditetapkan dalam APBN-P 2014 sebesar Rp246,46 triliun.