Jakarta (ANTARA) - Sejumlah organisasi sipil mendorong pemerintah untuk mendukung hasil perjanjian plastik yang kuat dalam perundingan The Intergovernmental Negotiating Committee (INC) ke-5 sebagai peluang Indonesia menjadi pemimpin dalam membangun ekonomi hijau.

Dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis, Rayhan Dudayev sebagai Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara mengatakan pemerintah memiliki tanggung jawab mengedepankan keselamatan masyarakat dari ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan, dengan hasil perjanjian plastik yang kuat akan menguntungkan ekonomi Indonesia.

Perundingan untuk pengesahan Perjanjian Plastik Global di pertemuan INC ke-5 di Busan, Korea Selatan yang berlangsung 25 November-1 Desember itu dapat menempatkan Indonesia dalam posisi penting untuk membangun ekonomi berkelanjutan.

"Selain berkomitmen terhadap keselamatan masyarakat Indonesia dan dunia, kami mendorong Indonesia untuk mendukung inovasi bisnis berkelanjutan dan aman yang selaras dengan perjanjian internasional tentang plastik, termasuk bisnis guna ulang yang salah satu elemen pendukung utamanya adalah pengurangan produksi plastik," ujarnya.

Dia menyebut bahwa selain mengurangi angka emisi karbon dan mengurangi polusi plastik dari hulu, kebijakan yang dipilih itu juga akan menarik pendanaan inovatif yang ramah lingkungan.

Sementara itu, Tiza Mafira sebagai Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia mengatakan bahwa perjanjian ini perlu memberi solusi tegas terhadap permasalahan bahwa plastik sekali pakai adalah jenis yang paling banyak menimbulkan sampah dan tidak terdaur ulang.

Secara khusus dia menyoroti studi Dietplastik Indonesia menunjukkan bahwa solusi guna ulang untuk menggantikan sachet berpeluang memberikan kontribusi nilai ekonomi bersih sampai dengan Rp1,5 triliun pada tahun 2030.

“Tentunya agar dapat tercapai, sistem guna ulang perlu memiliki standar dan infrastruktur yang memadai, dengan dukungan kebijakan pemerintah. Kami berharap Treaty memasukkan kewajiban setiap negara untuk memiliki target guna ulang, dan menegaskan prioritas kebijakan dan pendanaan pada pencegahan sampah, solusi hulu, tidak langsung ke pengelolaan hilir," ujar Tiza.

Di sisi lain, studi yang dilakukan Universitas Versailles oleh pakar ekologi Prof. Mateo Cordierdari Saint Quentin en Yvelines Prancis menemukan bahwa polusi plastik di lautan dapat menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar 13,7 hingga 281,8 triliun dolar AS dari 2016 hingga 2040.

Bagi Indonesia, kebocoran plastik itu dapat berpotensi pada kehilangan hingga 1 persen dari PDB. Angka tersebut menegaskan betapa pentingnya mengambil tindakan untuk melawan polusi plastik demi menghindari kerugian lebih besar di masa depan.

Baca juga: Sempat tertunda, RI ajak negosiasi perjanjian plastik INC-5 dimulai
Baca juga: WWF serukan perjanjian global untuk akhiri polusi plastik