Peneliti sebut penempatan perempuan cenderung ikuti stereotipe gender
28 November 2024 17:19 WIB
Tangkapan layar - Suasana webinar bertajuk "Polemik Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Pemilu 2024" yang dipantau dari Jakarta, Kamis (28/11/2024). ANTARA/Putu Indah Savitri (ANTARA/Putu Indah Savitri)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute Felia Primaresti mengemukakan penempatan perempuan pada partai politik cenderung mengikuti stereotipe gender, yang membatasi perempuan untuk memengaruhi keputusan politik strategis.
"Menurut kami, fenomena ini, alih-alih memberdayakan perempuan, tetapi malah justru memperkuat stereotipe gender," ucap Felia dalam webinar bertajuk "Polemik Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Pemilu 2024" yang dipantau dari Jakarta, Kamis.
Felia menjabarkan sejumlah bidang yang acapkali dipimpin oleh perempuan, seperti divisi perempuan dan anak, divisi pemberdayaan perempuan, hingga divisi ketahanan keluarga.
Penempatan perempuan berdasarkan stereotipe gender, kata Felia, menandakan perlunya melakukan reformasi pilar normatif.
Baca juga: Ketua MPR: Representasi perempuan di parlemen perlu lebih banyak
Pilar normatif melibatkan nilai dan norma yang memengaruhi perilaku dengan menciptakan peran sosial dan ekspektasi, serta memberikan hak dan tanggung jawab.
Menurut Felia, temuan bahwa perempuan di partai politik sering ditempatkan pada bidang yang dianggap "tradisional" seperti ketahanan keluarga, pendidikan, atau pemberdayaan perempuan, menunjukkan adanya nilai-nilai normatif yang masih memengaruhi struktur internal partai, serta mencerminkan stereotip gender yang masih melekat di dalam partai.
Stereotipe yang dimaksud, yakni perempuan dianggap lebih cocok untuk menangani isu-isu yang dianggap tradisional atau domestik atau dianggap "kurang strategis."
Norma ini, kata dia, secara tidak langsung memperkuat bias bahwa perempuan tidak kompeten untuk berpartisipasi dalam bidang-bidang yang lebih strategis seperti kebijakan-kebijakan pemilu dan penentuan strategi kampanye dalam pemilu.
"Posisi strategisnya masih didominasi oleh laki-laki," kata Felia.
Baca juga: KPPPA optimistis parpol bisa perkuat afirmasi keterwakilan perempuan
Oleh sebab itu, Felia merasa perlu bagi partai politik untuk menyelenggarakan program kampanye publik dan pelatihan berkala untuk anggota-anggotanya tentang pentingnya kesetaraan gender, representasi perempuan, dan perempuan dalam politik.
"Kami percaya bahwa kerja-kerja seperti ini juga seharusnya merupakan kerja-kerja yang sifatnya kolaboratif," katanya.
Dengan demikian, partai politik harus bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya untuk menggelar kampanye publik dan pelatihan terkait pentingnya kesetaraan gender, representasi perempuan, dan perempuan dalam politik.
Felia juga menekankan bahwa materi pelatihan harus menekankan nilai-nilai inklusif dan keragaman dalam pengambilan keputusan.
Hal tersebut bisa dikembangkan melalui badan penelitian dan pengembangan (litbang) yang dimiliki masing-masing partai maupun divisi terkait pelatihan kader.
Baca juga: Kepemimpinan perempuan harus didorong guna atasi ketimpangan gender
Baca juga: Akademisi: Keterwakilan perempuan di politik masih jauh dari ideal
"Menurut kami, fenomena ini, alih-alih memberdayakan perempuan, tetapi malah justru memperkuat stereotipe gender," ucap Felia dalam webinar bertajuk "Polemik Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Pemilu 2024" yang dipantau dari Jakarta, Kamis.
Felia menjabarkan sejumlah bidang yang acapkali dipimpin oleh perempuan, seperti divisi perempuan dan anak, divisi pemberdayaan perempuan, hingga divisi ketahanan keluarga.
Penempatan perempuan berdasarkan stereotipe gender, kata Felia, menandakan perlunya melakukan reformasi pilar normatif.
Baca juga: Ketua MPR: Representasi perempuan di parlemen perlu lebih banyak
Pilar normatif melibatkan nilai dan norma yang memengaruhi perilaku dengan menciptakan peran sosial dan ekspektasi, serta memberikan hak dan tanggung jawab.
Menurut Felia, temuan bahwa perempuan di partai politik sering ditempatkan pada bidang yang dianggap "tradisional" seperti ketahanan keluarga, pendidikan, atau pemberdayaan perempuan, menunjukkan adanya nilai-nilai normatif yang masih memengaruhi struktur internal partai, serta mencerminkan stereotip gender yang masih melekat di dalam partai.
Stereotipe yang dimaksud, yakni perempuan dianggap lebih cocok untuk menangani isu-isu yang dianggap tradisional atau domestik atau dianggap "kurang strategis."
Norma ini, kata dia, secara tidak langsung memperkuat bias bahwa perempuan tidak kompeten untuk berpartisipasi dalam bidang-bidang yang lebih strategis seperti kebijakan-kebijakan pemilu dan penentuan strategi kampanye dalam pemilu.
"Posisi strategisnya masih didominasi oleh laki-laki," kata Felia.
Baca juga: KPPPA optimistis parpol bisa perkuat afirmasi keterwakilan perempuan
Oleh sebab itu, Felia merasa perlu bagi partai politik untuk menyelenggarakan program kampanye publik dan pelatihan berkala untuk anggota-anggotanya tentang pentingnya kesetaraan gender, representasi perempuan, dan perempuan dalam politik.
"Kami percaya bahwa kerja-kerja seperti ini juga seharusnya merupakan kerja-kerja yang sifatnya kolaboratif," katanya.
Dengan demikian, partai politik harus bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya untuk menggelar kampanye publik dan pelatihan terkait pentingnya kesetaraan gender, representasi perempuan, dan perempuan dalam politik.
Felia juga menekankan bahwa materi pelatihan harus menekankan nilai-nilai inklusif dan keragaman dalam pengambilan keputusan.
Hal tersebut bisa dikembangkan melalui badan penelitian dan pengembangan (litbang) yang dimiliki masing-masing partai maupun divisi terkait pelatihan kader.
Baca juga: Kepemimpinan perempuan harus didorong guna atasi ketimpangan gender
Baca juga: Akademisi: Keterwakilan perempuan di politik masih jauh dari ideal
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024
Tags: