Ia mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan AJI yang bekerja sama dengan Monash University Indonesia, Provinsi Jawa Barat menjadi daerah yang paling tinggi dalam tren negatif itu, diikuti Aceh, Sumatera Barat, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Tingginya ujaran kebencian di lima provinsi itu, yang mungkin juga terjadi di provinsi yang lain, perlu jadi perhatian KPU maupun Bawaslu di daerah," kata Bayu dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, tindakan pencegahan harus segera dilakukan, agar ujaran kebencian itu tidak terakumulasi membesar setelah hari pemungutan suara pada 27 November.
"Perlu kerja sama konkret antara KPU/Bawaslu dengan platform digital seperti Tiktok, Meta, X, dan Google," ujar dia.
Bayu membeberkan, selama masa pemantauan terdapat tiga momen peningkatan ujaran kebencian terkait Pilkada 2024.
Pertama saat putusan MK soal penyelenggaraan pilkada, kedua saat penetapan calon oleh KPU pada 23 September 2024, dan terakhir setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober lalu.
Lebih lanjut dia membeberkan, di Jawa Barat, isu polarisasi berkaitan dengan poligami dan narkoba. Sedangkan di Aceh dan NTB, ditemukan ujaran kebencian dan diskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, penganut Kristen, Katolik, Syiah, Ahmadiyah, serta warga Rohingya, dan Tionghoa juga menjadi sasaran ujaran kebencian.
Baca juga: Waspada! Ujaran kebencian di media sosial mulai marak saat Pilkada
Baca juga: Pj. Gubernur Jatim ajak peserta Pilkada 2024 hindari ujaran kebencian
Baca juga: Peneliti Pusham : Video viral jelekkan Risma masuk ujaran kebencian
Data yang terkumpul, lanjut Derry, terdiri dari 56,6 persen (104.721 teks) yang berasal dari X, 35,1 persen (64.955 teks) dari komentar TikTok, dan 8,32 persen (15.405 teks) dari konten video TikTok.
Dari keseluruhan data tersebut, sebanyak 86,1 persen (164.302 teks) berkaitan dengan Pilkada 2024, dengan 11,23 persen (20.781 teks) di antaranya mengandung ujaran kebencian.
Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, Ika Idris, menjelaskan ujaran kebencian di lima provinsi tersebut didominasi isu agama, akhlak, dan etika.
Isu agama, menurut dia, muncul bukan cuma di daerah yang kandidatnya beda agama, tetapi juga yang agamanya sama. Narasi satu lebih saleh dibanding yang lain sangat mendominasi, seolah patokan utama seorang kandidat adalah kesalehannya.
Ia menyatakan, sentimen terhadap politik dinasti juga muncul sebagai upaya untuk tidak mendukung pasangan calon tertentu. Ada sentimen untuk menolak pasangan-pasangan yang pencalonannya berbasis nepotisme kekeluargaan, dan bukan karena kompetensi mereka.
"Sentimen negatif terkait politik dinasti yang muncul di pilpres dan pileg lalu masih berlanjut mewarnai pilkada. Bahkan ada ajakan-ajakan untuk memilih kotak kosong ke kandidat yang disokong oleh koalisi besar juga menguat," ujar Ika.