Bersiap menghadapi “crash” bursa saham
Oleh Biqwanto Situmorang
25 November 2024 13:45 WIB
Ilustrasi - Sejumlah pengunjung duduk berlatar belakang pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aa.)
Jakarta (ANTARA) - Kantor berita Reuters mengabarkan investor terkemuka dunia Warren Buffett menjual 24,7 juta lembar sahamnya di Bank of America senilai 981,9 juta dolar AS pada 23-27 Agustus 2024.
Dan sejak pertengahan Juli 2024 pemilik perusahaan investasi Berkshire Hathaway itu telah menjual sahamnya di bank kedua terbesar di AS itu senilai 5,4 miliar dollar AS.
Saat ini dia menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang tunai senilai 278 miliar dolar AS, melebihi uang tunai yang dimiliki bank sentral AS, Federal Reserve.
Mengapa investor sekaliber Warren Buffett melakukan hal tersebut? Adakah dia memiliki informasi yang tidak diketahui orang lain?
Selaku legenda investasi global, Buffett adalah patokan bagi para investor, dan tindakan Buffett tersebut menjadi perhatian investor dan analis di dunia, terutama di Amerika Serikat (AS).
Dylan Jovine, pendiri perusahaan konsultasi investasi Behind the Market dan analis terkemuka di Wall Street, dalam bukunya “Midnight in America” membahas sejumlah indikasi yang mengarah kepada kemungkinan terjadinya kejatuhan pasar saham AS dalam beberapa waktu ke depan.
Indikator pertama, yaitu harga emas yang terus mencetak harga tertinggi.
Menurut Dylan Jovine harga emas adalah prediktor yang baik untuk mendeteksi gejolak pasar saham.
Karena emas adalah investasi yang aman (save haven), dan ketika investor memburu emas berarti mereka menghindari risiko. Dari pengalaman, harga emas cenderung naik konsisten selama beberapa bulan sebelum terjadi kejatuhan (crash) pasar.
Ia memberi contoh, harga emas naik sekitar 32 persen dari 256 dolar AS per ounce pada Agustus 1999 menjadi 337 dolar pada Oktober 1999, dan 3 bulan kemudian terjadi crash pasar pada awal tahun 2000, dimana indeks S&P 500 bursa Wall Street turun 50 persen.
Kemudian pada tahun 2007, harga emas naik sekitar 30 persen dari 675 dolar pada April menjadi 871 dolar pada Oktober, dan beberapa bulan kemudian pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global dan Great Recession, yang membuat indeks S&P 500 bursa Wall Street anjlok hingga 50 persen.
Pada tahun 2024, harga emas dunia mencetak harga tertinggi sepanjang masa pada 30 Oktober senilai 2.788,36 dolar AS per ounce. Kemudian sempat turun ke level 2.564,25 dolar AS pada 15 November, namun naik lagi dan ditutup pada 2.710,4 dolar AS pada 22 November.
Dalam enam bulan terakhir, harga emas dunia naik sekitar 22 persen dari 2.271,41 dolar pada 7 Juni 2004 menjadi 2.778,36 dolar pada 30 Oktober 2024.
Diperkirakan harga emas masih akan terus naik dan bisa mencapai 3.000 dolar AS pada akhir tahun. Kenaikan harga ini yang diperkirakan sebagai indikasi kejatuhan pasar dalam beberapa waktu ke depan.
Indikasi kedua, nilai Price to Earning Ratio (P/E) perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa saham di Wall Street. Nilai P/E bisa diterjemahkan berapa tahun laba perusahaan bisa dihasilkan untuk mencapai nilai harga sahamnya.
Di AS, nilai P/E normal pada kondisi pasar yang sehat adalah 16. Saat ini menurut Dylan Jovine nilai P/E di AS mencapai 35, lebih dari dua kali nilai normal, yang berarti harga saham sudah sangat mahal dan sulit untuk menghasilkan laba yang menyamai harga sahamnya.
Kondisi dimana P/E setinggi ini terjadi dua kali dalam sejarah ekonomi AS, yang pertama beberapa bulan sebelum crash tahun 1929 yang menyebabkan Indeks Dow Jones anjlok hingga 80 persen, dan tahun 1999 beberapa waktu sebelum meledaknya “gelembung dot com” yang membuat indeks S&P 500 turun 50 persen.
Indikasi lain, yakni penjualan obligasi pemerintah AS yang sudah jenuh, dimana para pembeli tradisional seperti bank sentral asing, lembaga keuangan dan institusi besar tak bersedia lagi untuk membeli.
Dampaknya?
Dylan Jovine menjelaskan bahwa harga saham yang tinggi saat ini di AS didorong oleh penjualan obligasi pemerintah AS.
Pemerintah AS meminjam uang dari bursa dengan menjual obligasi. Dalam 4 tahun terakhir pemerintah AS menjual obligasi mencapai 11 triliun dollar, atau sekitar 1 triliun dollar setiap 100 hari.
Ketika obligasi tak lagi laku, maka pemerintah AS akan memangkas pengeluaran. Ketika pengeluaran pemerintah dipotong, maka lapangan pekerjaan juga menghilang, dan ketika lapangan kerja hilang, maka pendapatan perusahaan juga turun, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan harga saham.
Selain itu, utang yang menggunung, mengharuskan pemerintah AS membayar bunga yang sangat besar, mencapai 1 triliun dollar yang terjadi pertama kali pada tahun 2023. Nilai tersebut telah melampaui dana bantuan kesehatan federal, yang menambah beban keuangan negara itu.
Indikator lain 'crash'
Indikator lain yang cukup penting yakni kemungkinan China menginvasi Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah bagian China Daratan, sehingga senantiasa berusaha untuk menyatukannya.
Taiwan adalah produsen chips terdepan di dunia saat ini. Lebih dari 90 persen kebutuhan chips untuk peralatan modern di dunia, mulai dari hand phone, ventilator rumah sakit, hingga jet tempur, dipasok oleh perusahaan di Taiwan.
Apabila China menyerang Taiwan, maka pasokan 90 persen chips dunia akan terhenti. Dampaknya, harga barang-barang elektronik seperti smartphone, komputer dan laptop, televisi, mesin cuci, jam elektronik, dan lain-lain, akan melonjak. Perusahaan akan PHK karyawan karena tak mampu memproduksi barang.
Dan yang lebih parah lagi, hampir sepertiga barang-barang kebutuhan rumah tangga di dunia seperti barang elektonik, laptop dan komputer, sepatu, furnitur, dan lain-lain, dikapalkan melewati Laut China Selatan.
Apabila China menyerang Taiwan akan menghentikan pasokan barang-barang tersebut, yang diperkirakan sepertiga dari perdagangan maritim dunia. Hal itu akan menyeret bursa saham anjlok, karena perusahaan akan kehilangan pendapatan dan laba, bahkan banyak yang menghadapi kebangkrutan.
Saat ini kondisinya makin genting, bisa kapan saja China menyerang Taiwan. Kecenderungan ketegangan akan meningkat ketika presiden AS terpilih Donald Trump menduduki kursi kepresidenannya, karena Trump diperkirakan akan meningkatkan kecenderungan perang dagang dengan China. Hal itu bisa menjadi pendorong bagi China untuk menyerang Taiwan.
Dylan Jovine memperkirakan kemungkinan krisis finansial tahun 2008 setahun sebelumnya. Dia menuliskan prediksinya bahwa Rusia dan China akan terlibat perang, tujuh bulan sebelum pecah perang Rusia-Ukraina.
Dan dia juga sudah memperkirakan bahwa inflasi AS akan berlangsung lebih lama pada tahun ini. Lalu, berdasarkan berbagai indikator yang diuraikan, ia memperkirakan crash pasar saham yang mungkin terjadi akan melebihi magnitudo krisis tahun 2008.
Analisis ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti melainkan memberi gambaran tentang kondisi yang berkembang, dengan harapan investor dapat menyusun strategi yang tepat untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan cuan (keuntungan).
Dylan Jovine membuat prediksinya untuk bursa saham AS, namun apabila bursa saham AS mengalami crash, maka dampaknya akan menjalar ke seluruh dunia, termasuk bursa saham di Indonesia.
Buffett tidak sedang menanti datangnya bencana, melainkan mempersiapkan diri menghadapi hal paling buruk dan menanti momentum yang paling tepat untuk kembali masuk pasar.
Bagaimana dengan investor saham di negeri ini, sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan krisis?
Dan sejak pertengahan Juli 2024 pemilik perusahaan investasi Berkshire Hathaway itu telah menjual sahamnya di bank kedua terbesar di AS itu senilai 5,4 miliar dollar AS.
Saat ini dia menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang tunai senilai 278 miliar dolar AS, melebihi uang tunai yang dimiliki bank sentral AS, Federal Reserve.
Mengapa investor sekaliber Warren Buffett melakukan hal tersebut? Adakah dia memiliki informasi yang tidak diketahui orang lain?
Selaku legenda investasi global, Buffett adalah patokan bagi para investor, dan tindakan Buffett tersebut menjadi perhatian investor dan analis di dunia, terutama di Amerika Serikat (AS).
Dylan Jovine, pendiri perusahaan konsultasi investasi Behind the Market dan analis terkemuka di Wall Street, dalam bukunya “Midnight in America” membahas sejumlah indikasi yang mengarah kepada kemungkinan terjadinya kejatuhan pasar saham AS dalam beberapa waktu ke depan.
Indikator pertama, yaitu harga emas yang terus mencetak harga tertinggi.
Menurut Dylan Jovine harga emas adalah prediktor yang baik untuk mendeteksi gejolak pasar saham.
Karena emas adalah investasi yang aman (save haven), dan ketika investor memburu emas berarti mereka menghindari risiko. Dari pengalaman, harga emas cenderung naik konsisten selama beberapa bulan sebelum terjadi kejatuhan (crash) pasar.
Ia memberi contoh, harga emas naik sekitar 32 persen dari 256 dolar AS per ounce pada Agustus 1999 menjadi 337 dolar pada Oktober 1999, dan 3 bulan kemudian terjadi crash pasar pada awal tahun 2000, dimana indeks S&P 500 bursa Wall Street turun 50 persen.
Kemudian pada tahun 2007, harga emas naik sekitar 30 persen dari 675 dolar pada April menjadi 871 dolar pada Oktober, dan beberapa bulan kemudian pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global dan Great Recession, yang membuat indeks S&P 500 bursa Wall Street anjlok hingga 50 persen.
Pada tahun 2024, harga emas dunia mencetak harga tertinggi sepanjang masa pada 30 Oktober senilai 2.788,36 dolar AS per ounce. Kemudian sempat turun ke level 2.564,25 dolar AS pada 15 November, namun naik lagi dan ditutup pada 2.710,4 dolar AS pada 22 November.
Dalam enam bulan terakhir, harga emas dunia naik sekitar 22 persen dari 2.271,41 dolar pada 7 Juni 2004 menjadi 2.778,36 dolar pada 30 Oktober 2024.
Diperkirakan harga emas masih akan terus naik dan bisa mencapai 3.000 dolar AS pada akhir tahun. Kenaikan harga ini yang diperkirakan sebagai indikasi kejatuhan pasar dalam beberapa waktu ke depan.
Indikasi kedua, nilai Price to Earning Ratio (P/E) perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa saham di Wall Street. Nilai P/E bisa diterjemahkan berapa tahun laba perusahaan bisa dihasilkan untuk mencapai nilai harga sahamnya.
Di AS, nilai P/E normal pada kondisi pasar yang sehat adalah 16. Saat ini menurut Dylan Jovine nilai P/E di AS mencapai 35, lebih dari dua kali nilai normal, yang berarti harga saham sudah sangat mahal dan sulit untuk menghasilkan laba yang menyamai harga sahamnya.
Kondisi dimana P/E setinggi ini terjadi dua kali dalam sejarah ekonomi AS, yang pertama beberapa bulan sebelum crash tahun 1929 yang menyebabkan Indeks Dow Jones anjlok hingga 80 persen, dan tahun 1999 beberapa waktu sebelum meledaknya “gelembung dot com” yang membuat indeks S&P 500 turun 50 persen.
Indikasi lain, yakni penjualan obligasi pemerintah AS yang sudah jenuh, dimana para pembeli tradisional seperti bank sentral asing, lembaga keuangan dan institusi besar tak bersedia lagi untuk membeli.
Dampaknya?
Dylan Jovine menjelaskan bahwa harga saham yang tinggi saat ini di AS didorong oleh penjualan obligasi pemerintah AS.
Pemerintah AS meminjam uang dari bursa dengan menjual obligasi. Dalam 4 tahun terakhir pemerintah AS menjual obligasi mencapai 11 triliun dollar, atau sekitar 1 triliun dollar setiap 100 hari.
Ketika obligasi tak lagi laku, maka pemerintah AS akan memangkas pengeluaran. Ketika pengeluaran pemerintah dipotong, maka lapangan pekerjaan juga menghilang, dan ketika lapangan kerja hilang, maka pendapatan perusahaan juga turun, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan harga saham.
Selain itu, utang yang menggunung, mengharuskan pemerintah AS membayar bunga yang sangat besar, mencapai 1 triliun dollar yang terjadi pertama kali pada tahun 2023. Nilai tersebut telah melampaui dana bantuan kesehatan federal, yang menambah beban keuangan negara itu.
Indikator lain 'crash'
Indikator lain yang cukup penting yakni kemungkinan China menginvasi Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah bagian China Daratan, sehingga senantiasa berusaha untuk menyatukannya.
Taiwan adalah produsen chips terdepan di dunia saat ini. Lebih dari 90 persen kebutuhan chips untuk peralatan modern di dunia, mulai dari hand phone, ventilator rumah sakit, hingga jet tempur, dipasok oleh perusahaan di Taiwan.
Apabila China menyerang Taiwan, maka pasokan 90 persen chips dunia akan terhenti. Dampaknya, harga barang-barang elektronik seperti smartphone, komputer dan laptop, televisi, mesin cuci, jam elektronik, dan lain-lain, akan melonjak. Perusahaan akan PHK karyawan karena tak mampu memproduksi barang.
Dan yang lebih parah lagi, hampir sepertiga barang-barang kebutuhan rumah tangga di dunia seperti barang elektonik, laptop dan komputer, sepatu, furnitur, dan lain-lain, dikapalkan melewati Laut China Selatan.
Apabila China menyerang Taiwan akan menghentikan pasokan barang-barang tersebut, yang diperkirakan sepertiga dari perdagangan maritim dunia. Hal itu akan menyeret bursa saham anjlok, karena perusahaan akan kehilangan pendapatan dan laba, bahkan banyak yang menghadapi kebangkrutan.
Saat ini kondisinya makin genting, bisa kapan saja China menyerang Taiwan. Kecenderungan ketegangan akan meningkat ketika presiden AS terpilih Donald Trump menduduki kursi kepresidenannya, karena Trump diperkirakan akan meningkatkan kecenderungan perang dagang dengan China. Hal itu bisa menjadi pendorong bagi China untuk menyerang Taiwan.
Dylan Jovine memperkirakan kemungkinan krisis finansial tahun 2008 setahun sebelumnya. Dia menuliskan prediksinya bahwa Rusia dan China akan terlibat perang, tujuh bulan sebelum pecah perang Rusia-Ukraina.
Dan dia juga sudah memperkirakan bahwa inflasi AS akan berlangsung lebih lama pada tahun ini. Lalu, berdasarkan berbagai indikator yang diuraikan, ia memperkirakan crash pasar saham yang mungkin terjadi akan melebihi magnitudo krisis tahun 2008.
Analisis ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti melainkan memberi gambaran tentang kondisi yang berkembang, dengan harapan investor dapat menyusun strategi yang tepat untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan cuan (keuntungan).
Dylan Jovine membuat prediksinya untuk bursa saham AS, namun apabila bursa saham AS mengalami crash, maka dampaknya akan menjalar ke seluruh dunia, termasuk bursa saham di Indonesia.
Buffett tidak sedang menanti datangnya bencana, melainkan mempersiapkan diri menghadapi hal paling buruk dan menanti momentum yang paling tepat untuk kembali masuk pasar.
Bagaimana dengan investor saham di negeri ini, sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan krisis?
Copyright © ANTARA 2024
Tags: