Jakarta (ANTARA) - Kesehatan publik merupakan salah satu landasan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan jangka panjang suatu bangsa. Oleh karenanya, isu kesehatan publik seharusnya menjadi perhatian utama calon pemimpin daerah.

Salah satu tantangan bagi para pemimpin mendatang adalah bagaimana mengambil langkah nyata untuk melindungi masyarakat dari dampak konsumsi rokok, yang masih menjadi darurat kesehatan di Indonesia.

Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 mencatat jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 69,1 juta, meningkat signifikan dibandingkan 2011 sebanyak 60,3 juta. Prevalensi ini semakin mengkhawatirkan dengan tren meningkatnya pengguna rokok elektronik, khususnya di kalangan remaja.

Menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia pada 2019, sebanyak 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun telah menjadi perokok, sementara 56,5 persen perokok dewasa mulai merokok sejak remaja (SKI, 2023). Dampaknya terasa tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga pada produktivitas generasi muda yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan bangsa.

Mudahnya akses, penjualan eceran, dan promosi luas menjadi faktor utama tingginya konsumsi ini. Tingginya prevalensi merokok juga berkontribusi pada penurunan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Indonesia, dari 52,67 pada 2019 menjadi 51,00 pada 2020, jauh dari target yang ditetapkan Bappenas untuk tahun 2024, yaitu 57,67.

Lebih dari itu, dampak konsumsi rokok juga terlihat pada pengeluaran rumah tangga, terutama di kelompok masyarakat rentan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 masih menempatkan rokok sebagai pengeluaran terbesar kedua setelah beras. Pola ini tidak hanya membahayakan kesehatan, tetapi juga memperburuk kemiskinan struktural di Indonesia.

Selain dampak ekonomi dan kesehatan, upaya pengendalian rokok di Indonesia juga menghadapi tantangan besar dari intervensi industri rokok. Tekanan ini memperlemah implementasi kebijakan pengendalian rokok dan mempersempit ruang perlindungan kesehatan publik

Dalam situasi ini, peran kepala daerah menjadi sangat penting. Sebagai pemimpin yang paling dekat dengan masyarakat, kepala daerah memiliki peluang untuk membuat kebijakan yang berdampak langsung pada kualitas hidup warganya. Namun, keberhasilan mereka juga bergantung pada keberanian untuk menghadapi tantangan politik maupun tekanan kepentingan.

Keberpihakan kepala daerah terhadap kesehatan publik bukan hanya soal regulasi, tetapi juga komitmen untuk menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas segala kepentingan lain. Sebab, kebijakan daerah yang pro-kesehatan memiliki efek domino, melindungi masyarakat dari bahaya jangka panjang sekaligus mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang lebih berkelanjutan.

Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), melalui inisiatif kanal “Pilihan Tanpa Beban” melakukan pemetaan sikap dan komitmen politisi dari berbagai fraksi, seperti anggota legislatif, hingga calon gubernur dan wakilnya dari berbagai daerah terhadap kebijakan pengendalian rokok. Laman ini dirancang untuk memberikan akses transparansi kepada masyarakat, memungkinkan mereka melihat rekam jejak calon terkait isu ini dan menjadi alat penting untuk menilai keberpihakan calon pemimpin, sehingga dapat membuat pilihan lebih bijak demi menciptakan lingkungan sehat bagi generasi mendatang.

Hasil pemetaan menunjukkan mayoritas politisi belum memiliki keberpihakan yang kuat pada kesehatan masyarakat. Beberapa mendukung kebijakan pengendalian rokok, seperti penguatan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pelarangan iklan dan promosi rokok, kenaikan cukai, pembatasan akses penjualan, dan beberapa kebijakan lainnya.

Namun, banyak yang hanya bersikap normatif tanpa solusi konkret, sementara sebagian lainnya terindikasi memiliki konflik kepentingan, baik melalui dukungan terhadap kebijakan yang memperlonggar regulasi, maupun melalui keterlibatan dalam program-program yang disponsori oleh industri rokok. Hal ini tentu mengancam upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan sehat, terutama ketika industri rokok terus berupaya menanamkan pengaruhnya pada proses legislasi.

Di tengah semua tantangan ini, pemerintah sebenarnya telah memiliki instrumen yang cukup kuat, yaitu PP No 28 Tahun tentang Kesehatan. Regulasi ini sebenarnya memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok.

Beberapa poin penting yang harus diperkuat implementasinya di tingkat daerah mencakup pelarangan penjualan rokok eceran, pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan pelarangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan untuk melindungi anak-anak dari ‘godaan’ membeli rokok.

Selain itu, regulasi ini juga mengatur pengendalian iklan dan promosi produk tembakau dan rokok elektronik di media luar ruang maupun tempat penjualan, sehingga masyarakat, khususnya generasi muda, tidak terus-menerus terpapar oleh pemasaran yang mendorong perilaku konsumtif.

Selebihnya, regulasi ini juga menegaskan penegakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di ruang-ruang publik strategis untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bebas dari paparan asap rokok.

Untuk itu, kepala daerah sebaiknya memastikan regulasi ini diterjemahkan ke dalam kebijakan lokal yang disertai dengan pengawasan serta penindakan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut diterapkan secara efektif.

Beberapa program yang bisa dioptimalkan di tingkat daerah seperti layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan, di mana kepala daerah terlibat langsung untuk memastikan bahwa program ini dapat terjangkau ke seluruh daerah dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk berhenti merokok.

Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di daerah penghasil tembakau juga dapat diarahkan untuk berbagai kegiatan strategis di bidang kesehatan. Selain mendanai penerima bantuan iuran JKN, alokasi ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat upaya pengendalian produk tembakau, memperkuat layanan UBM, menyediakan pelatihan bagi penyuluh kesehatan, pengawasan dan penegakan KTR, hingga mendukung penerapan dan penegakan amanat PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Lebih jauh lagi, kampanye edukasi tentang bahaya rokok harus menjadi prioritas. Pendekatan kolaboratif dengan institusi pendidikan, organisasi masyarakat sipil, tokoh publik, media, dan komunitas lokal, serta program kreatif seperti kampanye media sosial, aksi seni budaya, kompetisi berbasis edukasi, dan program kreatifitas lainnya, dapat menjadi jembatan untuk membangun kesadaran bahwa merokok bukan sekadar masalah individu, tetapi isu sosial yang berdampak besar pada kualitas hidup generasi mendatang.

Kepala daerah memegang peranan penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Alih-alih menerima sponsorship dari industri rokok yang justru mendorong promosi produk berbahaya di acara-acara daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan prevalensi perokok, kepala daerah sebaiknya membangun kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta yang berkomitmen pada gaya hidup sehat.

Inisiatif seperti ini tidak hanya memberikan dampak positif yang nyata, tetapi juga mencerminkan visi jangka panjang kepala daerah yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, dengan komitmen kuat untuk melindungi generasi masa depan dari bahaya rokok.

Oleh sebab itu, Pilkada 2024 menjadi momen krusial bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki visi jangka panjang, tetapi juga transparansi, rekam jejak yang jelas, dan komitmen nyata terhadap isu-isu strategis yang mempengaruhi kehidupan rakyat.

Untuk memastikan komitmen calon kepala daerah terhadap isu kesehatan publik, termasuk pengendalian rokok, pendekatan kontrak politik dapat menjadi langkah strategis. Kontrak politik ini berisi komitmen konkret calon untuk mengambil langkah spesifik dalam mendukung kebijakan pro-kesehatan.

Dengan adanya kontrak ini, masyarakat dapat mengawasi pelaksanaan janji politik tersebut setelah calon terpilih, meningkatkan transparansi, dan memperkuat akuntabilitas serta kepercayaan publik terhadap pemimpin daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mengingat bahwa generasi muda akan menyumbang 56 persen dari total pemilih, kita memegang tanggung jawab besar dalam menjaga keberlangsungan proses demokrasi ini dan memastikan suara kita didengar.

Kita harus berpikir lebih luas dengan mempertimbangkan keberagaman spektrum politik serta keberpihakan calon kepala daerah terhadap isu-isu penting yang berdampak pada masa depan kita, seperti pengendalian rokok, kesejahteraan sosial, ekonomi inklusif, dan tata kelola pemerintahan bersih.

Dengan memilih pemimpin daerah yang tepat berdasarkan rekam jejak dan komitmen nyata, kita dapat memastikan pemimpin terpilih membawa perubahan positif dan masa depan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat.



*) Isranalita Madelif Sihombing, Ni Made Shellasih adalah pegiat Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC)