Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil menilai bahwa tragedi polisi menembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat, merupakan momentum untuk mengevaluasi penggunaan senjata api di kalangan aparat penegak hukum.

“Harus ada tes berkala untuk memastikan kesehatan fisik dan mental aparat yang diberi kewenangan membawa senjata api. Senjata tidak boleh digunakan sembarangan, apalagi untuk konflik pribadi,” ujar Nasir dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu.

Menurut Nasir, kasus tersebut juga menjadi peringatan bagi institusi kepolisian untuk berbenah diri. Ia menilai Polri perlu memperketat pengawasan penggunaan senjata api.

Nasir menyerukan agar pelaku diproses secara hukum sekaligus diberikan sanksi yang tegas.

Baca juga: Polisi tangkap pria simpan belasan paket sabu di Jakarta Utara

Penggunaan senjata api di kalangan kepolisian kerap menjadi sorotan, terlebih dengan munculnya berbagai kasus yang melibatkan penembakan antarpolisi.

Padahal, prosedur penggunaan senjata api sudah diatur secara jelas berdasarkan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 pada Pasal 47 ayat (1) dan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sebelumnya, Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar menembak mati Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar, di halaman Mapolres Solok Selatan, Sumatera Barat, Jumat (22/11) sekitar pukul 00.43 WIB.

Korban tewas di tempat akibat dua luka tembakan di kepala. Sedangkan Dadang langsung menyerahkan diri ke Polda Sumatera Barat (Sumbar).

Kejadian tragis dini diduga dipicu Satreskrim yang sedang menindak aktivitas tambang ilegal.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan Polda Sumbar mengusut tuntas kasus oknum perwira polisi yang menembak rekan seprofesinya.

Listyo juga menilai peristiwa yang terjadi di Polres Solok Selatan tersebut bukan masalah konflik internal.