Jakarta (ANTARA) - Pernikahan dini menjadi salah satu praktik yang telah lama menjadi tradisi di berbagai wilayah Indonesia dan masih menjadi isu yang memicu perdebatan baru. Meskipun memiliki akar budaya yang cukup kuat, pernikahan pada usia muda kerap membawa dampak negatif terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan seorang anak.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan diizinkan bagi pria berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun, meskipun pasangan di bawah usia tersebut dapat tetap menikah. Namun, pada 2019, DPR merevisi aturan tersebut, sehingga usia minimal menikah untuk pria dan wanita disamakan menjadi 19 tahun.

Menurut laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas perempuan di Indonesia pertama kali menikah pada rentang usia 19-24 tahun. Proporsi perempuan yang menikah di rentang usia tersebut tercatat mencapai 49,58 persen pada 2024, meningkat 0,57 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Selain itu, sebanyak 25,08 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia 16-18 tahun, 17,18 persen pada usia 25 tahun ke atas, dan 8,16 persen lainnya pada usia 10-15 tahun. Budaya, kondisi ekonomi, dan tingkat pendidikan menjadi faktor utama yang mendorong praktik pernikahan dini, yang pada akhirnya dapat memperparah kesenjangan dalam kehidupan individu yang menjalani tradisi tersebut.

Baca juga: Ahli ingatkan remaja soal pertimbangan matang sebelum menikah muda

Banyak pihak berpendapat bahwa kepercayaan diri, pergaulan bebas, tekanan sosial, serta keterbatasan ekonomi keluarga sering dianggap sebagai alasan untuk menganggap pernikahan sebagai solusi terbaik. Namun, langkah ini justru dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan memperburuk siklus kemiskinan di Indonesia.

Laporan yang sama mengungkapkan bahwa usia pernikahan yang terlalu muda dapat mempengaruhi pola pengasuhan anak, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi gizi dan kesehatan anak. Selain itu, pernikahan dini juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada perempuan, termasuk potensi terkena kanker leher rahim.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia ideal untuk menikah bagi pria minimal 25 tahun dan wanita minimal 21 tahun. Rekomendasi ini bukan tanpa alasan. Pada 2018, data BPS menunjukkan bahwa 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun, atau sekitar 11,21 persen, telah menikah sebelum usia 18 tahun.

Tujuan dari rekomendasi ini adalah untuk mencegah pernikahan dini, yang dapat menimbulkan berbagai risiko, antara lain:

  • Usia psikologis yang belum matang dapat memengaruhi pola pengasuhan anak.
  • Kematangan usia dan mental yang belum tercapai dapat berdampak pada kesehatan dan gizi anak.
  • Pernikahan dini meningkatkan risiko kesehatan, termasuk kehamilan pada usia remaja.
  • Risiko kanker leher rahim atau serviks pada remaja di bawah 20 tahun yang aktif secara seksual.
Selain itu, pernikahan dini juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan fisik dan mental para pelakunya. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber resmi, pernikahan dini bisa memicu banyak efek, baik dalam sisi fisik maupun psikologis. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin dialami oleh mereka yang terlibat dalam pernikahan dini.

Baca juga: Kemenag sebut KUA tak layani pernikahan dini

Dampak negatif dari pernikahan dini

1. Masalah kesehatan mental

Studi menunjukkan bahwa pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun berisiko mengalami masalah kesehatan mental hingga 41 persen, termasuk kecemasan, depresi, PTSD, dan gangguan disosiatif. UNICEF juga menyatakan bahwa remaja belum memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dan membuat keputusan yang bijak, sehingga seringkali mengandalkan kekerasan saat menghadapi konflik rumah tangga. Selain itu, keguguran pada wanita muda juga dapat memicu masalah kesehatan mental akibat ketidaksiapan tubuh untuk hamil dan melahirkan.

2. Pernikahan dini picu tekanan sosial

Di masyarakat Indonesia yang komunal, pasangan muda yang menikah sering kali menghadapi tekanan sosial, seperti tuntutan suami untuk menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah, serta istri yang harus mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Padahal, secara psikologis, pasangan yang menikah di usia muda belum siap untuk memikul tanggung jawab tersebut.

3. Terisolasi secara sosial

Perempuan yang menikah dini seringkali mengalami isolasi sosial, terbatas dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan mengikuti kegiatan sosial lainnya. Hal ini dapat menimbulkan perasaan kesepian, depresi, serta kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat, mengingat perubahan drastis dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan teman-teman yang masih mengejar pendidikan atau pengalaman lainnya.

4. Mengalami kecanduan

Pernikahan dini juga dapat memicu kecanduan, seperti merokok, menggunakan narkoba, mengonsumsi alkohol, atau berjudi. Hal ini umumnya dilakukan untuk mengurangi stres dan beban pikiran yang sebenarnya belum seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Selain itu, remaja cenderung belum memahami cara yang sehat dan tepat untuk mengatasi stres atau mengekspresikan emosi akibat masalah rumah tangga.

Baca juga: Remaja tidak dianjurkan menikah dini perlu kenali 5 konsep diri

5. Peningkatan risiko infeksi menular seksual

Pasangan yang menikah di bawah usia 18 tahun berisiko lebih tinggi mengalami infeksi menular seksual, termasuk HIV dan sifilis, akibat aktivitas seksual yang mereka lakukan. Hal ini terjadi karena minimnya edukasi tentang seks yang aman dan rendahnya sosialisasi kepada orang tua serta masyarakat mengenai penggunaan kontrasepsi saat berhubungan intim.

6. Pernikahan dini berisiko terjadinya KDRT

Studi menunjukkan bahwa wanita yang menikah dini memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Usia muda yang belum matang untuk membina rumah tangga sering kali membuat pasangan kesulitan berpikir logis dan dewasa. Ditambah lagi, kestabilan emosi yang belum tercapai membuat mereka mudah terbawa amarah dan ego.

Akibatnya, penyelesaian masalah lebih sering dilakukan dengan kekerasan daripada komunikasi yang konstruktif. Risiko kekerasan seksual dalam rumah tangga juga tinggi, terutama bagi pasangan yang tinggal terpisah dari orang tua dan memiliki jarak usia yang cukup signifikan.

7. Risiko ekonomi yang rendah

Selain berdampak pada kesehatan, pernikahan dini juga memaksa wanita untuk melewatkan masa remajanya. Seharusnya, masa muda mereka diisi dengan belajar dan mengembangkan diri untuk meraih masa depan yang cerah, namun terhalang oleh kewajiban mengurus rumah tangga dan membesarkan anak.

Hal yang sama juga dialami pria, yang harus mencari nafkah untuk keluarga, seringkali dengan mengorbankan pendidikan mereka. Pernikahan bukanlah keputusan yang sederhana, setiap pasangan perlu matang secara fisik, emosional, dan mental. Oleh karena itu, pernikahan dini seharusnya dihindari. Selain itu, pasangan juga harus siap secara mental dan finansial untuk menghindari konflik rumah tangga.

Baca juga: Kemenag Sumenep cegah pernikahan dini melalui program Gemini

Baca juga: IPADI: Cegah pertambahan jumlah pernikahan dini kurangi kasus stunting