Jakarta (ANTARA) - Transformasi Badan Urusan Logistik (Bulog) dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada era reformasi merupakan tonggak penting yang hingga kini relevan untuk dibahas.

Transformasi ini tidak hanya dipicu oleh desakan International Monetary Fund (IMF), yang kala itu dianggap sebagai "dewa penolong" perekonomian nasional, tetapi juga disepakati oleh para pembuat kebijakan dalam negeri.

Dengan berubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perum Bulog diharapkan mampu menjalankan dua peran sekaligus yakni sebagai entitas bisnis yang andal dan profesional serta tetap memikul tanggung jawab sosial dalam memastikan stabilitas pangan nasional.

Namun, setelah lebih dari dua dekade berstatus sebagai BUMN, apakah Bulog telah berhasil menjalankan amanah tersebut?

Sejak masa transisinya, Bulog telah menghadapi berbagai tantangan besar. Sebagai perusahaan plat merah, dominasi Bulog dalam pasar beras nasional masih sangat terbatas.

Saat ini, Bulog hanya menguasai sekitar 8-9 persen pasar beras, sementara sisanya dikuasai oleh sektor swasta. Penguasaan ini jauh dari cukup untuk menjadikan Bulog sebagai pemain utama dalam industri pangan di Indonesia.

Sebagai operator pangan, Bulog justru lebih dikenal melalui peran sosialnya, seperti Program Bantuan Langsung Beras (BLB) bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat.

Bulog secara rutin menyediakan 2,64 juta ton beras yang didistribusikan dalam 12 tahap, dengan masing-masing penerima mendapat 10 kg per bulan.

Namun, meski peran sosialnya cukup signifikan, upaya Bulog untuk menjadi "raksasa bisnis pangan" masih menghadapi hambatan besar.

Pemimpin Pasar

Dalam konteks bisnis, penguasaan pasar menjadi salah satu indikator keberhasilan. Jika saja Bulog mampu meningkatkan penguasaan pasar beras menjadi 15 persen, bahkan mendekati 25 persen, dampaknya akan sangat besar.

Dengan porsi pasar yang lebih signifikan, Bulog tidak hanya dapat menetapkan standar harga pembelian pemerintah (HPP) tetapi juga mampu mengendalikan harga gabah dan beras di tingkat petani serta pasar.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Saat harga gabah petani anjlok selama musim panen raya, Bulog kerap tidak mampu memberikan intervensi yang berarti.

Begitu pula ketika harga beras melambung tinggi beberapa waktu lalu, Bulog terlihat kesulitan meredam gejolak harga. Situasi ini memperlihatkan bahwa peran Bulog sebagai pengendali pasar masih belum optimal.

Permasalahan ini sempat menjadi sorotan Presiden Joko Widodo saat sebelum purnatugas, yang sempat meminta harga beras berada pada tingkat yang "wajar" untuk semua pihak mencakup petani, pedagang, dan konsumen.

Namun, "harga wajar" ini tampaknya sulit terwujud. Sebab, definisi "wajar" berbeda-beda untuk setiap pemangku kepentingan. Petani menginginkan harga gabah setinggi mungkin, konsumen menginginkan harga beras serendah mungkin, sementara pedagang mencari margin keuntungan sebesar mungkin.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi, harga beras tetap tinggi dan sulit diturunkan.

Hal ini memperkuat sinyal bahwa kemampuan pemerintah, termasuk Bulog, dalam mengendalikan pasar beras masih terbatas.

Salah satu penyebabnya adalah kecilnya porsi penguasaan Bulog atas pasar beras nasional, sehingga posisi tawarnya terhadap sektor swasta menjadi lemah.

Mengembalikan Kejayaan

Untuk menjadikan Bulog sebagai raksasa bisnis pangan yang disegani, langkah strategis yang sistematis jelas sangat diperlukan.

Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan di antaranya dengan meningkatkan penguasaan pasar beras.

Pemerintah harus mendukung Bulog untuk memperluas penguasaan pasar beras hingga setidaknya 25 persen.

Dengan porsi pasar yang lebih besar, Bulog dapat memainkan peran lebih dominan dalam menetapkan harga dan menjaga stabilitas pasar.

Kemudian diversifikasi bisnis pangan. Bulog tidak boleh hanya fokus pada komoditas beras. Diversifikasi ke komoditas pangan strategis lainnya, seperti jagung, kedelai, dan gula, akan memperkuat perannya sebagai entitas bisnis pangan.

Langkah ini juga dapat mengurangi ketergantungan pada satu komoditas dan memberikan fleksibilitas dalam menghadapi fluktuasi pasar.

Selain itu penting untuk memodernisasi infrastruktur dan teknologi. Penggunaan teknologi modern dalam penyimpanan dan distribusi pangan akan meningkatkan efisiensi operasional Bulog.

Digitalisasi juga dapat membantu Bulog memantau stok pangan secara real-time, sehingga respons terhadap dinamika pasar menjadi lebih cepat.

Bulog juga harus memperluas kemitraan dengan petani dan pengusaha lokal melalui program pembinaan yang berkelanjutan. Selain itu, kerja sama dengan pengusaha lokal dapat menciptakan ekosistem bisnis pangan yang lebih inklusif dan berdaya saing.

Bulog di satu sisi perlu untuk melakukan reformasi manajemen internal untuk memastikan telah dikelola secara profesional.

Pengawasan yang ketat terhadap manajemen dan implementasi tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap Bulog.

Dengan perencanaan yang matang dan dukungan penuh dari pemerintah, Bulog memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri pangan.

Peran strategis Bulog tidak hanya terbatas pada menjaga stabilitas harga, tetapi juga memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Membangun kembali Bulog sebagai raksasa bisnis pangan adalah tugas bersama. Langkah ini tidak hanya penting untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga untuk menciptakan kemandirian ekonomi yang lebih kokoh.

Di era globalisasi yang penuh tantangan, Bulog harus mampu membuktikan bahwa perusahaan plat merah ini tidak hanya menjadi penggerak roda ekonomi, tetapi juga pelindung kesejahteraan rakyat.

Dengan tekad dan kerja keras, Bulog dapat kembali berjaya dan menjadi kebanggaan bangsa. Kini saatnya semua bertanya, apakah bangsa ini siap memberikan dukungan yang diperlukan untuk mewujudkan visi besar ini? Sementara tantangan global terkait krisis pangan menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.