Jakarta (ANTARA) - Persepsi untuk Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra yang agung, mengajak semua untuk kembali berpikir ketika Indonesia juga punya I La Galigo.

Epos dari tradisi Bugis ini sudah saatnya untuk diangkat dan dipopulerkan kembali mengingat, ia juga tak kalah agungnya untuk disandingkan dengan mahakarya sastra kuno lainnya.

Bahkan, I La Galigo didaulat sebagai karya sastra terpanjang di dunia, melampaui Mahabharata dan Ramayana.

Sayangnya, popularitasnya di Tanah Air--apalagi kini--semakin kurang dibandingkan dengan epos-epos besar dari India.

I La Galigo bukan sekadar kumpulan cerita. Bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut kepercayaan Tolotang, epos ini dianggap sebagai kitab suci.

Karya ini berisi mitos penciptaan dunia dan nilai-nilai luhur yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat Bugis.

Sayangnya, banyak generasi muda Indonesia yang tidak mengenal atau memahami kedalaman dan keindahan karya ini.

Padahal, I La Galigo telah diakui sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO melalui program Memory of the World pada 27 Juli 2011, sebuah pengakuan yang seharusnya menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk lebih memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya ini.

Penelitian yang dilakukan oleh para akademikus Universitas Negeri Makassar, termasuk Andi Iswiranda AJ, Nensilianti, dan Suarni Syam Saguni, menemukan bahwa I La Galigo mengandung nilai-nilai edukasi yang relevan dengan pembentukan karakter bangsa.

Nilai-nilai seperti religiusitas, kejujuran, toleransi, kerja keras, dan cinta tanah air terkandung dalam kisah-kisahnya.

Nilai-nilai tersebut merupakan landasan bagi pembangunan masyarakat yang berkarakter sehingga epos ini tidak hanya bernilai sastra, tetapi juga berpotensi sebagai sumber pendidikan moral dan budaya.


Menelusuri I La Galigo

Yudisthira Sukatanya, budayawan Bugis, pernah memberikan uraian mendalam tentang I La Galigo dalam kegiatan Modul Nusantara Kebhinekaan.

Naskah ini dikenal sebagai fragmen terpanjang di dunia, yang ditulis di Makassar sekitar abad ke-14. Hingga kini, naskah tersebut menjadi bagian dari koleksi naskah Bugis dan Makassar yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Dalam penjelasannya, Yudisthira menegaskan bahwa meskipun I La Galigo tidak tergolong teks sejarah karena dominasi narasi mitologisnya yang kuat, banyak ilmuwan sepakat bahwa naskah ini memiliki pengaruh besar dalam memahami masa lalu peradaban Bugis.

Terutama pada periode sebelum kedatangan Islam, teks ini menjadi jendela untuk mengintip kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Bugis di masa lampau.

Ditulis dalam aksara Lontarak, naskah-naskah ini telah menjadi rujukan penting khususnya bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia untuk mengenal kembali kisah epik tanah Luwu.

Akademikus yang telah lebih dari tiga dekade mempelajari I La Galigo, Prof. Dr. Nurhayati Rahman, juga mencatat bahwa berkat upaya Wakil Presiden Jusuf Kalla melalui Yayasan I La Galigo yang dipimpin Tanri Abeng, salinan digital 12 jilid I La Galigo kini telah kembali ke Indonesia.

Sebagai upaya pelestarian, jilid pertama dan kedua telah diterbitkan pada tahun 1995 dan 2000, sedangkan jilid ketiga menyusul pada tahun 2017. Peluncuran jilid ketiga di Universitas Hasanuddin Makassar dirangkaikan dengan peresmian situs web I La Galigo.

Kabar baiknya, jilid keempat dari seri I La Galigo juga sudah diterbitkan oleh Pustaka Obor pada Mei 2024. Naskah ini adalah bagian dari koleksi besar yang selama ini tersimpan di Universitas Leiden, khususnya di perpustakaan KITLV.

Sebagian besar naskah I La Galigo memang dilestarikan di Belanda dan Indonesia, termasuk satu naskah penting yang disimpan di Museum La Galigo, Makassar.

Bagi masyarakat Bugis, I La Galigo dikenal juga dengan sebutan Sureq Selleang, Sureq Galigo, atau Bicarrana (Pau Paunna) Sawerigading. Epik ini diyakini memiliki fungsi beragam, seperti bacaan hiburan yang biasa dinikmati selepas magrib hingga tengah malam.

Selain juga sebagai bacaan untuk upacara adat, seperti malam pengantin--yang dibacakan secara bergilir--, bahkan sebagai buku mitos atau pedoman hidup yang sarat nilai-nilai kearifan lokal dan naskah antik yang memiliki nilai sakral.

Isi epik ini terhimpun dalam berbagai episode menarik, seperti Sawerigading dan kisah keluarganya, perjalanan Sawerigading mencari We Tenri-Rawe, sepupunya, kisah Sawerigading yang berniat menikahi saudara perempuannya, We Tenri Abeng, dan penebangan pohon Welenreng pohon kehidupan raksasa di posi tana, dengan lingkar batang tujuh ribu depa dan tinggi tiga ribu depa, yang dapat terlihat dari tanah Jawa.

Ada pula tentang Sawerigading berlayar ke negeri China dan bersumpah tidak akan kembali ke tanah Luwu, berlanjut tentang pernikahan Sawerigading dengan We Cudai yang melahirkan I La Galigo dan We Tenri Dio. Lalu kehidupan Sawerigading sebelum dan setelah menghilang secara gaib serta peran Sawerigading sebagai leluhur raja-raja Luwu dan silsilahnya.

Epik ini sering diyakini benar-benar terjadi, bahkan bagi penganut agama lokal, pembacaan I La Galigo harus disertai ritual khusus, seperti persembahan, dupa, atau pemotongan ayam atau kambing.

Sebagaimana kitab suci lainnya, pembacaan fragmen kisah I La Galigo dipandang sebagai sinonim berdoa, dengan fungsi magis seperti penyembuhan, penolak bala, dan lainnya.



Pewarisan I La Galigo

Sayangnya, pewarisan I La Galigo menghadapi ancaman seiring pudarnya pengetahuan lokal tentang teks-teks kuno Bugis, serta rendahnya penguasaan masyarakat terhadap bahasa dan aksara Lontarak. Aksara Lontara Bugis, yang sering disebut ukiq sulappaq eppaq (huruf segi empat), dipercaya merupakan turunan dari aksara Pallawa yang kini jarang dipahami oleh generasi muda.

Selain itu, sebagian besar naskah asli I La Galigo tersimpan di luar negeri, terutama di Universitas Leiden, Belanda, yang menyulitkan akses bagi masyarakat dan peneliti lokal meskipun mereka telah mendigitalisasi dan membuka aksesnya secara luas kepada masyarakat.

Di sisi lain, kurangnya integrasi materi tentang I La Galigo dalam kurikulum pendidikan nasional juga menjadi alasan penting mengapa epos ini kurang mendapatkan perhatian generasi muda.

Maka, meski telah dipentaskan di berbagai negara melalui produksi internasional yang dipimpin oleh Robert Wilson, pementasan I La Galigo di Indonesia masih terbatas sehingga masyarakat kurang familier dengan cerita ini.

Meskipun demikian, ada banyak peluang untuk menghidupkan kembali I La Galigo di tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah melalui integrasi I La Galigo dalam kurikulum pendidikan.

Materi tentang epos ini dapat diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah, atau Budaya Lokal, untuk memperkenalkan generasi muda pada warisan leluhur mereka yang agung.

Selain itu, adaptasi I La Galigo ke dalam berbagai medium modern seperti film, serial televisi, atau pertunjukan seni berbasis teknologi dapat menjadi cara yang efektif untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.

Digitalisasi naskah-naskah I La Galigo juga sangat diperlukan untuk mempermudah akses publik dan peneliti.

Digitalisasi ini dapat melibatkan kolaborasi antara Pemerintah, universitas, dan lembaga internasional, seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Leiden dalam proyek digitalisasi arsip-arsip Nusantara.

Dengan demikian, masyarakat luas dapat menikmati keindahan sastra ini tanpa terkendala oleh lokasi atau keterbatasan akses terhadap naskah fisik.

Pementasan seni yang menampilkan I La Galigo juga dapat diintensifkan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Festival budaya yang menjadikan I La Galigo sebagai tema utama juga berpotensi menarik perhatian publik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan epos ini.

Festival semacam ini tidak hanya akan memperkenalkan I La Galigo kepada masyarakat, tetapi juga mendorong pariwisata budaya yang dapat memberikan dampak ekonomi bagi daerah setempat.

Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menggali lebih dalam nilai-nilai filosofis, historis, dan sosiologis yang terkandung dalam I La Galigo.

Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan budaya dan pendidikan, sekaligus memperkaya literatur akademik tentang warisan budaya Indonesia.

Menghidupkan kembali I La Galigo bukan sekadar upaya melestarikan sebuah karya sastra kuno, melainkan juga langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus modernisasi.

Epos ini adalah cerminan dari kebijaksanaan lokal yang sarat dengan nilai-nilai universal, menjadikannya relevan bagi semua generasi. Dengan memahami dan menghargai I La Galigo, Indonesia tidak hanya melindungi warisan budaya yang berharga, tetapi juga memperkuat posisi budaya Nusantara di kancah global.

Sebagaimana pepatah Bugis yang menyebutkan Narekko tenri sirikmu, esokko sirikna pabbainimu atau “Jika kamu tidak punya rasa malu, kamu akan kehilangan kehormatanmu” maka Indonesia harus menjaga martabat budayanya dengan merawat dan menghidupkan warisan termasuk I La Galigo.

Sebab, warisan budaya ini adalah harta karun yang menjadi jembatan penghubung ingatan masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa.

Editor: Achmad Zaenal M