Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR yang juga anggota Pansus Amandemen RUU Advokat Harry Witjaksono menyatakan akan menyampaikan masukan kalangan akademisi di Sumatera Utara terkait masukan amandemen RUU tersebut yang sedang dibahas DPR saat ini.

"Kita serap apa yang menjadi aspirasi kawan-kawan akademisi di Sumatera Utaraitu dan akan menjadi pertimbangan dalam membahas RUU Advokat ini. Namun jika tidak selesai dalam periode ini akan kita berikan catatan kepada Anggota DPR periode yang akan datang," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu ketika menanggapi aspirasi dari kalangan kampus Sumut, Minggu.

Sebelumnya diberitakan, sejumlah kalangan Fakultas Hukum dari 10 Universitas di Sumatera sepakat untuk menolak amandemen RUU Advokat yang sedang dibahas di DPR RI saat ini. Mereka antara lain berasal dari Universitas Sumatera Utara, Universitas Medan Area, Universitas Dharma Wangsa, Universitas Nomensen, Universitas Dharma Agung, UMSU,Univa,Universitas Panca Budi, Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syafruddin Kalo menegaskan pasal-pasal yang ada dalam amandemen RUU Advokat sangat melemahkan kedudukan Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia karena kedudukannya tidak sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

"Dalam amandemen RUU tersebut dikatakan kedudukan Advokat adalah mintra kepolisian. Jelas ini melecehkan tugas dan peran mereka dalam penegakan hukum dan membela masyarakat lemah. Kalau sebagai Mitra apa bedanya dengan Banpol yang bisa disuruh-suruh oleh polisi," katanya dalam diskusi Kajian Akademis RUU Advocat di Universitas Sumatera Utara, Medan, Minggu (17/8).

Menurut Syafruddin selain melemahkan kedudukan advokat revisi tersebut juga akan menumbuhkan praktik advokat nakal di Indonesia karena tidak adanya standarisasi yang jelas mengenai kwalitas ujian bagi calon advokat akibat mudahnya pendirian organisasi advokat.

"Mudahnya mendirikan organisasi advokat akan menyebabkan tidak adanya standarisasi profesi advokat. Untuk itu, wadah tunggal atau single bar adalah harga mati yang tidak bisa ditawar," katanya.

Sedangkan, Dekan Fakultas Hukum UGM DR Paripurna SH dalam suratnya kepada DPR RI pada tanggal 2 Juli lalu, menyebutkan keberadaan organisasi advokat yang banyak akan menimbulkan praktik yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia.

"Single Bar System atau wadah tunggal organisasi advokat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik advokat di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan," ujar Paripurna.

Menurut Paripurna seorang advokat untuk bisa berpraktek di Indonesia harus melalui mekanisme pendidikan dan ujian terlebih dahulu yang dilaksanakan oleh organisasi tunggal advokat sehingga tidak menimbulkan standarisasi ganda.(*)