Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia telah melaksanakan strategi multi instrumen hukum untuk menangani kasus terkait lingkungan hidup dan kehutanan sebagai bagian dari upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam diskusi di Paviliun Indonesia Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) Azerbaijan, Rabu, Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan strategi multi instrumen hukum itu disertai juga kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan bersama kementerian dan lembaga seperti Kepolisian RI dan Kejaksaan untuk menangani beragam kasus.

Baca juga: Kilang Pertamina Plaju reduksi emisi 964 ribu ton karbon

"Penyelidikan pencucian uang itu penting untuk melawan tindakan ilegal terkait lingkungan hidup dan kehutanan karena kebanyakan keuntungan finansial yang didapat dari aktivitas ilegal biasanya digunakan untuk aktivitas ilegal lain," kata Rasio Ridho Sani dalam diskusi yang dipantau daring dari Jakarta pada hari ini.

Dia memberikan, contoh bagaimana pendapatan dari aksi pembalakan liar dapat digunakan oleh oknum tertentu untuk melakukan penambangan dan perkebunan liar serta berbagai kegiatan ilegal lain.

Untuk itu, Rasio menyoroti pentingnya penggunaan berbagai rezim hukum baik pidana maupun perdata sebagai bagian dari pendekatan multidoor, yang menggunakan berbagai aturan perundang-undangan untuk menangani kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan.

"Sudah banyak inisiatif dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait litigasi iklim termasuk apa yang kami sebut sebagai strict liability untuk memastikan korporasi atau individu yang aktivitasnya merusak lingkungan bertanggung jawab penuh atas dampak yang ditimbulkan," jelasnya.

Baca juga: Pakar: Kota rendah karbon penting diwujudkan untuk dukung target NDC

Dia juga menyampaikan bahwa Indonesia sudah melakukan langkah serius menangani kasus hukum lingkungan hidup dan kehutanan yang berkait dengan pencucian uang. Selain juga berkolaborasi dengan Kejaksaan Agung serta Mahkamah Agung untuk menyusun pedoman untuk penanganan kasus lingkungan hidup dan kehutanan.

Hasilnya, kata Rasio Ridho Sani, tingkat kebakaran hutan dan lahan serta kemunculan titik panas (hotspot) di Indonesia sudah berkurang drastis sejak penegakan hukum dilakukan dari luasan 2,6 juta hektare terbakar pada 2015 menjadi 204.894 hektare pada 2022 dan 1,1 juta hektare pada 2023.

Pihaknya juga sudah berhasil memenangkan sejumlah kasus terkait penanganan sampah ilegal, termasuk penahanan pelaku atau pengelola tempat pembuangan akhir (TPA) ilegal serta denda yang mencapai miliaran rupiah.

Baik kasus kebakaran hutan dan lahan serta penanganan sampah ilegal, kata Rasio, jika tidak ditangani dapat berkontribusi dalam peningkatan emisi GRK baik karbon maupun metana dan menghalangi Indonesia mencapai target iklimnya.

Baca juga: Ekonomi rendah emisi di lahan gambut