ICW nilai pengesahan RUU Perampasan Aset butuh langkah konkret DPR
20 November 2024 18:46 WIB
Tangkapan layar - Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (kanan) dalam kelas literasi bertajuk "RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan?" yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu (20/11/2024). ANTARA/YouTube/PPATK Indonesia/Agatha Olivia Victoria
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset membutuhkan langkah konkret dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk membahasnya bersama Pemerintah serta menyetujuinya.
Pasalnya, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berpendapat bahwa Presiden RI Prabowo Subianto sudah memiliki Misi Astacita yang berulang kali disampaikan di depan publik, terutama tentang komitmen pemberantasan korupsi.
"Maka, dalam konteks perampasan aset, harus perhatikan betul wakil-wakil rakyat kita yang ada di Komisi III DPR RI, yang ada di Badan Legislasi. Jangan sampai ada pergeseran isu," ujar Kurnia dalam kelas literasi bertajuk RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan? yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.
Kurnia mengungkapkan bahwa pergeseran isu tersebut, yakni kekhawatiran berlebihan dalam menyampaikan argumentasi perampasan aset melalui pendekatan hukum umum atau common law maupun civil law atau hukum perdata.
Ia meyakini RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi pemberantasan tindak pidana korupsi dan pemulihan keuangan negara apabila sudah menjadi undang-undang.
Menurut dia, persetujuan pengesahan rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi selalu mandek di DPR.
Tak hanya RUU Perampasan Aset yang sudah lebih dari 15 tahun belum disahkan, menurut dia, pengusulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi hingga kini juga terhambat di DPR. Padahal, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah 23 tahun tidak pernah direvisi.
"Akan tetapi, UU yang lain kok argo-nya cepat sekali, sedangkan UU untuk memberantas tindak kejahatan white collar crime itu biasanya lambat di DPR," ucap dia.
Baca juga: PPATK tak permasalahkan perubahan diksi dalam RUU Perampasan Aset
Baca juga: Pengamat: RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat harus berhasil disahkan
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan memastikan akan serius membahas RUU Perampasan Aset walaupun RUU tersebut tidak masuk dalam RUU Prioritas untuk dibahas pada tahun 2025.
Bob Hasan mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset masuk ke dalam RUU Jangka Menengah untuk dibahas pada tahun 2025—2029 karena berdasarkan nilai urgensinya. Selain itu, menurut dia, Pemerintah mempertimbangkan untuk mengkaji lebih dalam draf muatan materi dalam RUU Perampasan Aset.
"Karena perampasan aset itu bukan an sich di bidang korupsi, bukan. Itu pidana, pidana yang dicampur sama perdata," kata Bob usai Rapat Paripurna dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (19/11).
Untuk itu, Bob menuturkan bahwa muatan materi RUU Perampasan Aset akan disesuaikan terlebih dahulu dengan harapan masyarakat dan harapan penegakan hukum demi memaksimalkan pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi.
Pasalnya, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berpendapat bahwa Presiden RI Prabowo Subianto sudah memiliki Misi Astacita yang berulang kali disampaikan di depan publik, terutama tentang komitmen pemberantasan korupsi.
"Maka, dalam konteks perampasan aset, harus perhatikan betul wakil-wakil rakyat kita yang ada di Komisi III DPR RI, yang ada di Badan Legislasi. Jangan sampai ada pergeseran isu," ujar Kurnia dalam kelas literasi bertajuk RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan? yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.
Kurnia mengungkapkan bahwa pergeseran isu tersebut, yakni kekhawatiran berlebihan dalam menyampaikan argumentasi perampasan aset melalui pendekatan hukum umum atau common law maupun civil law atau hukum perdata.
Ia meyakini RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi pemberantasan tindak pidana korupsi dan pemulihan keuangan negara apabila sudah menjadi undang-undang.
Menurut dia, persetujuan pengesahan rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi selalu mandek di DPR.
Tak hanya RUU Perampasan Aset yang sudah lebih dari 15 tahun belum disahkan, menurut dia, pengusulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi hingga kini juga terhambat di DPR. Padahal, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah 23 tahun tidak pernah direvisi.
"Akan tetapi, UU yang lain kok argo-nya cepat sekali, sedangkan UU untuk memberantas tindak kejahatan white collar crime itu biasanya lambat di DPR," ucap dia.
Baca juga: PPATK tak permasalahkan perubahan diksi dalam RUU Perampasan Aset
Baca juga: Pengamat: RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat harus berhasil disahkan
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan memastikan akan serius membahas RUU Perampasan Aset walaupun RUU tersebut tidak masuk dalam RUU Prioritas untuk dibahas pada tahun 2025.
Bob Hasan mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset masuk ke dalam RUU Jangka Menengah untuk dibahas pada tahun 2025—2029 karena berdasarkan nilai urgensinya. Selain itu, menurut dia, Pemerintah mempertimbangkan untuk mengkaji lebih dalam draf muatan materi dalam RUU Perampasan Aset.
"Karena perampasan aset itu bukan an sich di bidang korupsi, bukan. Itu pidana, pidana yang dicampur sama perdata," kata Bob usai Rapat Paripurna dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (19/11).
Untuk itu, Bob menuturkan bahwa muatan materi RUU Perampasan Aset akan disesuaikan terlebih dahulu dengan harapan masyarakat dan harapan penegakan hukum demi memaksimalkan pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024
Tags: