Jakarta (ANTARA) - Koordinator Bidang Kajian Microeconomics Dashboard Universitas Gadjah Mada (UGM) Qisha Quarina menilai isu mengenai Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) masih menghadapi tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia, terutama berkaitan dengan rendahnya cakupan kepesertaan bagi pekerja informal.

"Rendahnya cakupan kepesertaan Jamsosnaker, khususnya bagi pekerja informal, salah satunya disebabkan tidak adanya pekerjaan dan pendapatan yang tetap, sementara kepesertaan Jamsosnaker bagi segmen tersebut bersifat sukarela," kata Quarina dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan bahwa cakupan kepesertaan aktif Jamsosnaker segmen PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) masih sangat rendah yakni hanya 3,7 juta orang atau sekitar 5,15 persen dari total pekerja informal. Untuk diketahui, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 72,1 juta orang, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2022.

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan: Diperlukan adanya skema PBI untuk pekerja rentan

Sedangkan kepesertaan aktif Jamsosnaker bagi Pekerja Penerima Upah (PPU) jumlahnya masih lebih tinggi, yakni sebanyak 21,4 juta orang. Jumlah pekerja formal, berdasarkan Sakernas 2022, tercatat sebanyak 53,7 juta orang.

Dengan kata lain, kata dia, data cakupan kepesertaan Jamsosnaker segmen PBPU yang identik dengan pekerja informal relatif masih lebih rendah dari tahun ke tahun.

Quarina menyebutkan beberapa alasan yang menjadi tantangan dalam memperluas kepesertaan Jamsosnaker bagi pekerja informal. Hal ini diungkapkan berdasarkan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Ada delapan alasan yang meliputi tidak adanya landasan hukum untuk Jamsostek bagi pekerja informal, prosedur administrasi atau pelayanan yang rumit, besarnya manfaat Jamsosnaker yang tidak sepadan, serta biaya iuran yang terlalu tinggi, dan tidak sesuai dengan pendapatan pekerja informal.

Baca juga: DJSN tegaskan seluruh pihak terkait siap realisasikan PBI Jamsosnaker

"Tantangan juga berasal dari kurangnya penegakan hukum dan kontrol, tidak adanya representatif pekerja atau organisasi pekerja, kurangnya informasi dan isu kepercayaan dari pekerja pada institusi, serta tidak adanya koordinasi antar kebijakan jaminan sosial," kata Qisha Quarina.

Menurut dia, rendahnya perlindungan bagi pekerja informal sangat berpengaruh pada banyak hal, termasuk kemiskinan hingga pengucilan sosial (social exclusion).

"Meski program bantuan sosial menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya, namun pekerja informal tetap memerlukan kepesertaan dalam Jamsosnaker sebagai jaring pengaman agar mereka bisa mendapatkan program tersebut," kata Qisha Quarina.

Baca juga: JSI: Jamsosnaker perlu diperbaiki untuk atasi fenomena PHK