Jakarta (ANTARA) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tak mempermasalahkan perubahan diksi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset selama substansi dalam RUU tersebut tidak berubah.

Analis Hukum Senior Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK Azamul Fadhly mengatakan usulan penggantian diksi dari "perampasan" menjadi "pemulihan" sebenarnya bukan ide baru karena sudah pernah dicetuskan oleh Prof. Romli Atmasasmita saat menjadi salah satu anggota Tim Perumus UU Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Prof. Romli saat itu mendorong kata perampasan aset ini diubah menjadi pemulihan aset karena bahasa perampasan ini memang tone-nya cenderung negatif," kata Azamul dalam kelas literasi bertajuk RUU Perampasan Aset: Mengapa Harus Tetap Disahkan? yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.

Ia tak menampik terdapat beberapa kekhawatiran dari berbagai pihak dengan diksi "perampasan" dalam RUU Perampasan Aset, yakni adanya potensi berupa moral hazard atau bahaya moral yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.

Namun demikian, dia berharap pembahasan RUU Perampasan Aset tidak hanya sekadar meributkan terminologi karena yang menakutkan bukan soal bahasa, melainkan tentang apabila RUU Perampasan Aset tersebut tidak segera disahkan.

Apabila nantinya RUU itu sudah disahkan, kata dia, pelaksanaan berbagai aturan di dalamnya bisa dikawal oleh banyak pihak untuk menghindari kekhawatiran soal bahaya moral yang ada.

Azamul menuturkan pengawalan tersebut pun sudah dilaksanakan di beberapa negara dunia, yang antara lain mengatur syarat perampasan aset dengan adanya indikasi tindak pidana hingga adanya sistem pengelolaan barang bukti yang transparan.

Dalam penerapan sistem pengelolaan barang bukti di berbagai negara, sambung dia, masyarakat bisa melihat barang yang disita penegak hukum dari pelaku tindak pidana melalui sebuah aplikasi.

"Jadi properti pelaku yang disita sudah terdata dan terpublikasi di aplikasi itu. Masyarakat bahkan bisa melihat penjualan aset yang disita karena sistemnya sangat terbuka," tuturnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyampaikan opsi penggunaan judul "pemulihan" dibandingkan "perampasan" mengenai wacana munculnya RUU Perampasan Aset.
Doli mengatakan opsi tersebut perlu dikonsultasikan dengan para ahli hukum dan opsi penggunaan diksi "perampasan" juga perlu dipertimbangkan demi kebaikan negara.

"Kalau lihat lucu-lucunya saja deh, UU Perampasan Aset, apakah diksi perampasan itu baik untuk negara ini?" kata Doli saat rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/10).

Sejauh pemahamannya, wacana RUU Perampasan Aset timbul berdasarkan desakan agar DPR RI menindaklanjuti penandatanganan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Jika diteliti, bahasa yang digunakan dalam ratifikasi UNCAC terkait hal tersebut adalah stolen asset recovery, yang menggunakan kata recovery atau pemulihan.

"Lantas kenapa kita memilih kata perampasan dibandingkan pemulihan yang tertera di UNCAC Itu?" kata Doli.