Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong Indikator Pengelolaan Keanekaragaman hayati (IPK) terimplementasi sampai ke tingkat pemerintah daerah.

Dalam diskusi yang diadakan WWF-Indonesia di Jakarta, Rabu, Perencana Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Martha Siregar memaparkan pemerintah telah meluncurkan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) 2025-2045 pada Agustus lalu untuk mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Di dalamnya, kata dia, terdapat indikator pengelolaan keanekaragaman hayati sebagai salah satu sektor utama untuk pembangunan nasional. Terdapat lima faktor dari IPK tersebut yaitu sektor kehutanan, pertanian dan perkebunan, perairan, sumber daya mineral dan energi, serta kesehatan.

Baca juga: Bappenas paparkan lima kaidah pelaksanaan IBSAP 2025-2045

"Indikator yang ada di IPK ini telah menjadi salah satu indikator di dalam rencana pembangunan jangka panjang kita dalam periode 20 tahunan. Periodenya sama juga dengan IBSAP dan coba kami dorong di daerah juga menggunakan ini. Jadi kita baik di pusat dan di daerah bekerja bersama-sama," katanya.

Indeks pengelolaan keanekaragaman hayati daerah sendiri ditujukan untuk menjadi alat ukur pengelolaan keanekaragaman hayati yang disusun di tingkat provinsi. Indeks itu terdiri dari tiga sektor yaitu kehutanan dan lahan, pertanian dan perkebunan, serta perairan.

Baca juga: Bappenas: IBSAP 2025-2045 kembangkan berbagai solusi finansial

"Dari sisi perencanaan kita penting untuk memiliki satu indikator yang bisa kita pantau setiap tahun. Oleh karena itu kami mendorong pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati jadi harapannya dengan nilai yang baik maka keanekaragaman hayatinya baik pula," tuturnya.

Dia juga mengapresiasi laporan Living Planet Report 2024 yang dikeluarkan oleh WWF, menyebut dokumen itu dapat selaras dengan IBSAP 2025-2045. Laporan itu sendiri menyebut telah terjadi penurunan populasi satwa liar global dalam periode 50 tahun atau 1970-2020 sebesar 73 persen.

Fakta terkait penurunan keanekaragaman hayati itu, kata dia, juga menjadi indikator dan pertimbangan dalam IBSAP, dengan pendalaman beberapa penyebabnya termasuk eksploitasi berlebihan serta belum optimal pemanfaatannya.

Baca juga: Indeks keanekaragaman hayati di TNGHS meningkat jadi 3,93