Jakarta (ANTARA) - Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Adat harus berhasil disahkan pada periode 2025–2029.

"RUU ini sudah mandek di prolegnas selama bertahun-tahun dan kelompok terkait selalu menggaungkan urgensinya untuk disahkan. Dengan demikian, kedua RUU ini harus bisa berhasil disahkan pada periode 2025–2029 ini," kata Christina saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Christina mengapresiasi RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Menurut dia, kedua RUU tersebut mewadahi kebutuhan perlindungan hukum yang nyata di tengah masyarakat.

"Pekerja rumah tangga dan masyarakat adat memerlukan perlindungan lewat hukum yang setara undang-undang untuk menjamin, di antaranya bebas dari kekerasan, menjamin keberlangsungan ekonomi mereka, dan untuk keberlangsungan hidupnya itu sendiri," kata Christina.

Ia mengatakan bahwa hak bebas dari kekerasan dan keberlangsungan hidup yang layak telah dijamin konstitusi. Akan tetapi, hal tersebut masih belum dirasakan sepenuhnya oleh pekerja rumah tangga dan masyarakat adat.

"Maka dari itu, negara perlu hadir untuk memberikan perlindungan pada warga negaranya lewat pengesahan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat," imbuh Christina.

Christina menyambut baik Prolegnas Prioritas 2025 yang telah memuat beberapa RUU yang menjawab kebutuhan hukum masyarakat. Akan tetapi, dia menyayangkan RUU krusial lain seperti RUU Perampasan Aset yang belum masuk ke dalam daftar prioritas.

Baca juga: TII: Strategi literasi dan kolaborasi diperlukan atasi judi online
Baca juga: TII: Prolegnas prioritas 2025 perlu pertimbangkan kebutuhan masyarakat


Menurut dia, tidak masuknya RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang digalakkan pemerintahan periode baru.

"Selain RUU ini mendukung kinerja pemerintah, hal ini juga merepresentasikan kebutuhan hukum nyata di tengah masyarakat. Kasus korupsi makin merajalela dan kerugian yang dialami negara juga di luar nalar, salah satunya PT Timah yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun," katanya.

Ia menilai DPR seharusnya bisa intensif berkolaborasi dengan mitra di bidang akademisi, aparat penegak hukum masyarakat sipil, hingga mitra mancanegara jika memang merasa membutuhkan studi lebih lanjut.

"Tanpa RUU Perampasan Aset, taring pemberantasan korupsi Indonesia akan kurang tajam dalam menggerogoti kasus-kasus korupsi," ucapnya.

Sebelumnya, Rapat Paripurna Ke-8 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025 di Jakarta, Selasa (19/10), menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas Tahun 2025–2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025.

RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam prolegnas prioritas tahun depan. Sementara itu, RUU Perampasan Aset tidak masuk prioritas, tetapi menjadi RUU jangka menengah untuk dibahas pada tahun 2025–2029.