Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto secara marathon melaksanakan kunjungan kenegaraan pertamanya setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024. Dalam waktu yang tidak terlalu jauh, dua negara adidaya dikunjungi, yaitu China dan Amerika Serikat. Dua negara yang saling berseteru dalam lanskap geopolitik kontemporer.

Presiden Indonesia memainkan bandul diplomasinya untuk membangun keseimbangan geopolitik.

Pada 9 November Indonesia-China menghasilkan Joint Statement (pernyataan bersama) yang ditandatangani Presiden Prabowo. Dokumen setebal 17 halaman tersebut memuat kesepahaman kedua bangsa dalam kerja sama lima pilar: politik, ekonomi, budaya, maritim dan keamanan. Indonesia berhasil memperoleh komitmen investasi sebesar 10,07 miliar dolar AS melalui Indonesia-China Business Forum.

Di tengah ketegangan militer kedua negara di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna, sejumlah pihak khawatir joint statement ini dapat mengancam kedaulatan NKRI. Bukan keuntungan yang didapat, tetapi dominasi China atas Indonesia di wilayah yang sedang diperebutkan tersebut. Namun, dalam perspektif diplomasi, upaya ini dapat dipandang sebagai bentuk pembangunan stabilitas di kawasan Asia Pasifik.

Topik tentang situasi di Asia Pasifik juga menjadi pembicaraan yang hangat saat Presiden Prabowo bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dalam lawatan diplomasi selanjutnya. Dalam pernyataannya, kedua presiden berkomitmen untuk terus memajukan visi arsitektur regional Indo-Pasifik yang terbuka, transparan, inklusif, dan berbasis aturan, dengan ASEAN sebagai pusatnya, yang menjunjung tinggi hukum internasional.

Kedua pemimpin menggarisbawahi dukungan untuk menegakkan kebebasan navigasi dan penerbangan serta menghormati hak kedaulatan dan yurisdiksi negara atas zona ekonomi eksklusif mereka sesuai dengan hukum United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Dalam forum bisnis bersama USINDO, Indonesia memperoleh komitmen investasi jangka panjang yang telah terealisasi sejak 2019 sebesar 13,41 triliun dolar AS dan akan terus berlanjut di masa mendatang.


Keseimbangan Geopolitik

Dalam konteks diplomasi modern, negara-negara dengan berbagai kepentingan yang kompleks tidak hanya berurusan satu sama lain pada satu tingkat atau pada satu jenis atau sebagian masalah tertentu saja, melainkan banyak dimensi yang saling berkaitan.

Dalam diplomasi multidimensional tak semuanya harus berjalan dengan sinkron. Bisa jadi secara ekonomi dapat melakukan kerja sama, tetapi di bidang lain terjadi potensi konflik.




Dengan mengunjungi AS segera setelah China, Indonesia telah memperjelas posisinya terhadap kedua negara tersebut, meskipun persaingan AS-China semakin ketat, Indonesia tidak memihak salah satu pihak. Namun tetap mempertahankan kepentingan nasional dan prinsip non-partisan.

Pokok yang menjadi persaingan antara China dan AS terkait dengan kawasan Asia Pasifik. Klaim China terhadap nine-dash line yang mencakup hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) telah memberikan ruang perseteruan antara berbagai negara yang sebagian wilayahnya beririsan dengan klaim China tersebut, terutama negara anggota ASEAN.

Hukum UNCLOS 1982 yang diratifikasi Indonesia pada 1985 mengatur bahwa batas-batas wilayah laut dan ZEE sejauh 200 mil ditarik dari garis pangkal wilayah pesisirnya.

Berdasarkan UNCLOS, Nine-Dash Line yang diklaim oleh China tidak memiliki dasar hukum yang sah. Hukum UNCLOS ini yang juga menjadi pegangan negara anggota ASEAN lainnya: Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Namun China tetap mempertahankannya atas dasar sejarah dan pengaruh budaya.

Indonesia menetapkan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah sah milik NKRI sesuai ketentuan UNCLOS. Dalam konteks ini, pernyataan bersama yang dikeluarkan Indonesia dan China tidak diartikan sebagai pengakuan terhadap Nine-Dash Line, tetapi sebatas upaya diplomasi dalam menjaga stabilitas kawasan.

Penandatanganan pernyataan bersama dengan China ini mengandung pilihan bagi Indonesia untuk lebih mengutamakan stabilitas di kawasan dan kepentingan nasional. Nine-Dash Line yang selama ini dinilai sebagai ancaman oleh negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia memilih pendekatan diplomasi de facto: menjaga hubungan baik dengan China.

Indonesia mencoba membangun keseimbangan antara mempertahankan posisi hukum (de jure) di bawah UNCLOS, dengan pengakuan terhadap realitas pengaruh China yang semakin besar di kawasan (de facto).

Keputusan ini memiliki keuntungan dalam menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat hubungan lima pilar dengan China, tetapi juga menimbulkan risiko kehilangan dukungan ASEAN dalam menghadapi klaim China. Dengan mengambil langkah diplomatik yang hati-hati dan tetap memantau aktivitas China di kawasan tersebut, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan stabilitas regional.

Dalam kaitan klaim China di kawasan LCS, Indonesia melihat Amerika Serikat memposisikan NKRI, dan negara anggota ASEAN lainnya seolah sebagai benteng regional melawan China. Situasi ini yang membuat Indonesia dan ASEAN dalam posisi sebagai negara proksi di tengah ketegangan kedua negara China dan AS.

Pemerintahan Presiden Prabowo menempuh pendekatan pragmatis dengan memanfaatkan hubungan dengan China dan AS untuk memajukan kepentingan nasional sebagai bentuk membangun keseimbangan baru di kawasan.

Diplomasi Presiden Prabowo dan meningkatnya kepentingan ekonomi Indonesia dapat memberikan peluang untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam urusan regional dan global, tetapi ini memerlukan keseimbangan sehingga diplomasi yang tidak memihak menjadi prinsip penting. Tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain agar tidak dimanfaatkan sebagai negara proksi.

Pada akhirnya, dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dengan seluruh elemen bangsa, diharapkan mampu menghantarkan bangsa Indonesia untuk mengolah potensi unggulan nasional guna membangun kekuatan nasional yang kuat dan tangguh demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.



*) Ngasiman Djoyonegoro, Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan