Syarat TOEFL pada tes instansi pemerintah-swasta dinilai diskriminatif
18 November 2024 20:29 WIB
Hanter Oriko Siregar (tengah), pemohon uji materi dalam Perkara Nomor 159/PUU-XXII/2024, membacakan pokok permohonannya yang mempersoalkan syarat skor TOEFL pada tes masuk kerja dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (18/11/2024). ANTARA/Fath Putra Mulya
Jakarta (ANTARA) - Hanter Oriko Siregar, pemohon uji materi dalam Perkara Nomor 159/PUU-XXII/2024, menilai syarat wajib melampirkan nilai tes bahasa Inggris sebagai bahasa asing (TOEFL) pada seleksi masuk instansi pemerintah ataupun swasta merupakan tindakan yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia.
Oleh karena itu, Hanter memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar memberi ketentuan baru, yakni pemberi kerja merekrut tenaga kerjanya dengan mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia jika pemberi kerja atau perusahaan berkedudukan di dalam wilayah hukum Indonesia.
“Pemberlakuan syarat yang mengharuskan peserta pencari kerja harus menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dengan baik dibuktikan adanya TOEFL, sebagai syarat mutlak memperoleh pekerjaan pada instansi negara/pemerintah maupun swasta adalah tindakan diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagaimana yang telah dijamin dan dilindungi UUD Tahun 1945,” kata Hanter dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Senin.
Baca juga: Pengamat: Tes TOEFL sebagai syarat PNS perlu dikaji dengan cermat
Di hadapan majelis hakim panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hanter mengaku bahwa ia batal mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2024 di Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, dan KPK karena ketiga lembaga itu mewajibkan syarat skor TOEFL sebesar 450.
“Pemohon mencoba berusaha untuk mengikuti ujian sertifikat TOEFL sebanyak empat kali. Namun, pemohon hanya mendapatkan skor dengan perolehan nilai paling tinggi sebanyak 370,” kata Hanter.
Menurut dia, syarat wajib skor TOEFL untuk instansi pemerintah telah menistakan konstitusi karena bahasa Indonesia seharusnya berfungsi sebagai jati diri bangsa, seperti yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Hanter mendalilkan bahwa tidak terdapat logika hukum dalam mewajibkan skor TOEFL sebagai syarat mengikuti tes CPNS. Sebab, ia melamar untuk bekerja di wilayah hukum Indonesia dan mengabdikan diri pada instansi pemerintahan, bukan di luar negeri.
“Pemohon secara tegas menyatakan tidak anti terhadap bahasa asing, tetapi betapa tidak bijaknya suatu bangsa yang menjadikan syarat penguasaan bahasa asing yang lebih utama dan terpenting yang harus dikuasai oleh para pencari kerja untuk memperoleh pekerjaan di negaranya sendiri,” ujarnya.
Atas dasar itu, dalam perkara ini, Hanter mempersoalkan konstitusionalitas dua pasal, yakni Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Hanter memohon MK menyatakan kedua pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Ia ingin Pasal 35 ayat (1) UU 13/2003 dimaknai menjadi: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui penempatan tenaga kerja dengan wajib menggunakan bahasa Indonesia sepanjang pemberi kerja/perusahaannya berkedudukan di dalam wilayah hukum Indonesia.”
Sementara itu, Pasal 37 UU 20/2023 dimaknai menjadi: “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN setelah memenuhi persyaratan yang tidak bertentangan dengan konstitusi.”
Sidang perdana tersebut dipimpin oleh M. Guntur Hamzah dengan didampingi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Di akhir persidangan, para hakim konstitusi bergantian memberikan nasihat atas permohonan yang diajukan Hanter.
Guntur, salah satunya, meminta pemohon untuk menjelaskan letak pertentangan pasal yang dipersoalkan dengan UUD NRI Tahun 1945. Menurut dia, pertentangan konstitusi akan terjadi jika ada persyaratan tes masuk kerja yang melarang penggunaan bahasa Indonesia, bukan dengan adanya syarat mahir berbahasa Inggris.
“Saudara harus menjelaskan bahwa penggunaan TOEFL itu bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi batu uji saudara. Saya ambil contoh, kalau ada instansi atau lembaga yang mempersyaratkan tidak boleh berbahasa Indonesia, barulah itu UUD ibarat sirenenya berbunyi,” kata Guntur.
Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari. Perbaikan permohonan diserahkan paling lambat pada 2 Desember 2024.
Baca juga: Penyempurnaan TOEFL iBT® Memulai Debutnya Juli 2023
Baca juga: IIEF pecahkan rekor MURI ujian TOEFL ITP serentak di banyak lokasi
Baca juga: Lembaga kursus dorong siswa belajar dengan kompetisi
Oleh karena itu, Hanter memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar memberi ketentuan baru, yakni pemberi kerja merekrut tenaga kerjanya dengan mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia jika pemberi kerja atau perusahaan berkedudukan di dalam wilayah hukum Indonesia.
“Pemberlakuan syarat yang mengharuskan peserta pencari kerja harus menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dengan baik dibuktikan adanya TOEFL, sebagai syarat mutlak memperoleh pekerjaan pada instansi negara/pemerintah maupun swasta adalah tindakan diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagaimana yang telah dijamin dan dilindungi UUD Tahun 1945,” kata Hanter dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Senin.
Baca juga: Pengamat: Tes TOEFL sebagai syarat PNS perlu dikaji dengan cermat
Di hadapan majelis hakim panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hanter mengaku bahwa ia batal mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2024 di Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, dan KPK karena ketiga lembaga itu mewajibkan syarat skor TOEFL sebesar 450.
“Pemohon mencoba berusaha untuk mengikuti ujian sertifikat TOEFL sebanyak empat kali. Namun, pemohon hanya mendapatkan skor dengan perolehan nilai paling tinggi sebanyak 370,” kata Hanter.
Menurut dia, syarat wajib skor TOEFL untuk instansi pemerintah telah menistakan konstitusi karena bahasa Indonesia seharusnya berfungsi sebagai jati diri bangsa, seperti yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Hanter mendalilkan bahwa tidak terdapat logika hukum dalam mewajibkan skor TOEFL sebagai syarat mengikuti tes CPNS. Sebab, ia melamar untuk bekerja di wilayah hukum Indonesia dan mengabdikan diri pada instansi pemerintahan, bukan di luar negeri.
“Pemohon secara tegas menyatakan tidak anti terhadap bahasa asing, tetapi betapa tidak bijaknya suatu bangsa yang menjadikan syarat penguasaan bahasa asing yang lebih utama dan terpenting yang harus dikuasai oleh para pencari kerja untuk memperoleh pekerjaan di negaranya sendiri,” ujarnya.
Atas dasar itu, dalam perkara ini, Hanter mempersoalkan konstitusionalitas dua pasal, yakni Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Hanter memohon MK menyatakan kedua pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Ia ingin Pasal 35 ayat (1) UU 13/2003 dimaknai menjadi: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui penempatan tenaga kerja dengan wajib menggunakan bahasa Indonesia sepanjang pemberi kerja/perusahaannya berkedudukan di dalam wilayah hukum Indonesia.”
Sementara itu, Pasal 37 UU 20/2023 dimaknai menjadi: “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN setelah memenuhi persyaratan yang tidak bertentangan dengan konstitusi.”
Sidang perdana tersebut dipimpin oleh M. Guntur Hamzah dengan didampingi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Di akhir persidangan, para hakim konstitusi bergantian memberikan nasihat atas permohonan yang diajukan Hanter.
Guntur, salah satunya, meminta pemohon untuk menjelaskan letak pertentangan pasal yang dipersoalkan dengan UUD NRI Tahun 1945. Menurut dia, pertentangan konstitusi akan terjadi jika ada persyaratan tes masuk kerja yang melarang penggunaan bahasa Indonesia, bukan dengan adanya syarat mahir berbahasa Inggris.
“Saudara harus menjelaskan bahwa penggunaan TOEFL itu bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi batu uji saudara. Saya ambil contoh, kalau ada instansi atau lembaga yang mempersyaratkan tidak boleh berbahasa Indonesia, barulah itu UUD ibarat sirenenya berbunyi,” kata Guntur.
Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari. Perbaikan permohonan diserahkan paling lambat pada 2 Desember 2024.
Baca juga: Penyempurnaan TOEFL iBT® Memulai Debutnya Juli 2023
Baca juga: IIEF pecahkan rekor MURI ujian TOEFL ITP serentak di banyak lokasi
Baca juga: Lembaga kursus dorong siswa belajar dengan kompetisi
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: