Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis radiologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Windu Cahyaningrum, Sp.Rad mengatakan bahwa tingkat sensitivitas deteksi kanker payudara (breast cancer) dapat mencapai 98 persen jika menggunakan mamografi yang dilengkapi dengan USG payudara.

“Kalau cuma mamografi itu range-nya cukup jauh antara 70-90 persen. Kalau USG itu bisa sampai 80-90 persen. Kalau keduanya digabung, kita bisa dapat sensitivitasnya 98 persen,” kata Windu dalam seminar awam RSCM, Jakarta, Senin.

Apabila seorang perempuan dicurigai memiliki kanker payudara dari hasil pemeriksaan mamografi, Windu menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan USG payudara sehingga tingkat keganasan penyakit tersebut dapat semakin dikonfirmasi.

“Dengan adanya kedua pemeriksaan itu saling melengkapi sehingga semakin meningkatkan kemampuan suatu alat, atau meningkatkan kemampuan dokter untuk mendeteksi suatu keganasan pada kanker payudara,” kata dia.

Windu menjelaskan, penggunaan mamografi disarankan untuk perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun tanpa gejala. Pemeriksaan dengan menggunakan alat ini juga bisa digunakan perempuan di atas 40 tahun yang mengalami gejala berupa keluarnya cairan dari puting.

“Karena pemeriksaan mamografi ini ada syarat-syarat tertentu, maka biasanya disarankan pada usia-usia di atas 40 tahun. (Ibu usia di atas 40 tahun) sudah mulai bisa melakukan skrining (dengan mamografi), bisa setiap tahun. Atau misalnya ingin 1-2 tahun sekali juga boleh. Tapi itu di atas 40 tahun. Kemudian untuk 45 tahun ke atas disarankan setiap tahun rutin. Dan kalau untuk 55 tahun ke atas, boleh kalau 2 tahun sekali,” kata Windu.

Meski begitu, mamografi tetap dapat digunakan untuk perempuan usia kurang dari 40 tahun apabila dicurigai adanya keganasan kanker dari hasil pemeriksaan USG. Namun, terdapat kontraindikatif relatif atas penggunaan mamografi bagi perempuan yang hamil, memiliki luka terbuka, dan memiliki implan payudara.

Menurut Windu, pemeriksaan mamografi dan USG memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan mamografi yaitu hasil pemeriksaan lebih sensitif dan dapat menilai mikrosklasifikasi atau perkapuran halus yang ganas.

Sedangkan kekurangan mamografi dapat menimbulkan perasaan yang tidak nyaman karena penggunaannya dengan cara dikompres. Kekurangan lain, mamografi menggunakan radiasi. Windu mengatakan, efek radiasi tidak dipungkiri ada di dalam pemeriksaan mamografi. Namun, ia memastikan bahwa dosis yang digunakan sangat rendah yakni sekitar 0,1 rad sehingga aman.

“Untuk dosis radiasi ini, ibu tidak usah khawatir misalnya dilakukan setiap tahun, karena ini masih dalam batas yang sangat jauh dari dosis aman untuk radiasi,” kata dia.

Adapun kelebihan USG antara lain tidak menggunakan radiasi, aman untuk ibu hamil, serta dapat digunakan untuk ibu menyusui. Namun, USG memiliki sejumlah kekurangan salah satunya tidak bisa melihat mikrosklasifikasi dan tidak dapat mendeteksi perkapuran ganas. USG juga sulit untuk mendeteksi tumor ganas kecil pada payudara yang besar serta membutuhkan waktu periksa yang lama bergantung dari operator.

Pemeriksaan dengan menggunakan peralatan mamografi dan USG itu dikenal sebagai “Sadanis” atau pemeriksaan payudara secara klinis. Sebelum melakukan Sadanis, Windu tetap menganjurkan para perempuan untuk melakukan “Sadari” atau pemeriksaan payudara sendiri. Adapun “Sadari” dapat dilakukan setiap bulan pada hari ketujuh hingga kesepuluh setelah hari haid pertama ketika kepadatan payudara berkurang.

“'Sadari' sekilas bisa dilihat dari ukuran, dari posisi dari payudara. Jadi, kalau kita lihat di kaca, ukurannya apakah sama atau tidak sama, antara kanan dan kiri, posisinya juga. Atau misalnya ada perubahan pada payudara setelah operasi, jangan khawatir ada sayatan karena bekas operasi, yang penting dievaluasi rutin setiap waktu,” kata Windu.

Baca juga: Vaksin yang tunjukkan hasil menjanjikan terhadap kanker payudara
Baca juga: Pakar sarankan SADARI rutin cegah kanker payudara