Jakarta (ANTARA) - Transisi energi menjadi salah satu perhatian utama negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Sebagai negara yang menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada tahun 2016, Indonesia memiliki kewajiban untuk membatasi peningkatan suhu global di atas 2 derajat celcius, dan mengurangi peningkatan suhu hingga 1,5 derajat celcius di tingkat praindustri.

Cara tersebut ditempuh melalui penurunan emisi karbon dioksida atau CO2 (dekarbonisasi) di segala aspek pembangunannya.

Selain itu, Presiden Prabowo Subianto dalam Astacitanya turut mengukuhkan komitmen untuk mereduksi pelepasan emisi karbon dalam proses industrialisasi sehingga bisa menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Sebagai bukti komitmen tinggi dalam melakukan dekarbonisasi, Pemerintah menerapkan target ambisius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui implementasi peningkatan target pengurangan emisi karbon secara total (Enhanced-Nationally Determined Contribution/E-NDC) dari 29 persen atau 835 juta ton karbon dioksida, menjadi 32 persen atau 912 juta ton CO2 pada tahun 2030.

Transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi satu dari beberapa strategi dalam menggapai target E-NDC yang ditetapkan.

Seperti halnya pengurangan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) fosil dan diganti dengan penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), yang terbukti bisa mereduksi CO2 bahkan hingga 100 persen dibandingkan BBM konvensional.


Hal itu karena minyak kelapa sawit bisa dimanfaatkan sebagai campuran untuk bahan bakar alternatif yang digunakan sebagai pengganti solar kendaraan bermesin diesel (biodiesel).

Tipe biodiesel ini dikategorikan berdasarkan campuran ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang merupakan hasil pemurnian dari minyak kelapa sawit dengan BBM fosil.

Dengan demikian, untuk menggapai transisi energi dari penggunaan BBM konvensional ke biodiesel, industri kelapa sawit memegang peran kunci untuk merealisasikan hal ini.

CPO yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dijadikan bahan baku untuk membuat bahan bakar mesin diesel yang ramah lingkungan.

Contohnya, biodiesel tipe B30 yang memiliki kadar campuran FAME 30 persen, dan diesel fosil 70 persen. B50 yang memiliki kadar campuran masing-masing 50 persen, atau B100 yang murni hanya terbuat dari FAME minyak kelapa sawit.

Jumlah produksi CPO dalam negeri menentukan seberapa cepat Indonesia bisa mewujudkan transisi energi dari BBM fosil ke penggunaan biofuel.

Oleh karena itu pemerintah memberikan instruksi wajib (mandatory) penggunaan biofuel secara bertahap, seperti B30 yang sudah diwajibkan sejak 2020, biodiesel tipe B40 yang akan diwajibkan pada Januari 2025, serta B50 yang diproyeksikan digunakan pada tahun 2026.


Tantangan

Dalam mencapai transisi energi dari BBM konvensional ke biofuel, pemerintah menghadapi tantangan yakni menyeimbangkan kebutuhan domestik CPO untuk sektor makanan, oleokimia, dan biodiesel, dengan kepentingan ekspor sehingga tetap menjaga pendapatan ekonomi nasional.

Itu karena ekspor CPO memberikan kontribusi besar pada pendapatan negara setiap tahunnya, bahkan pada tahun ini Pemerintah meyakini nilai ekonomi yang dihasilkan oleh industri sawit bisa mencapai Rp775 triliun.

Ketika Pemerintah mewajibkan penggunaan B30 pada tahun 2020, jumlah produksi CPO dalam negeri pada tahun tersebut mencapai sekitar 47 juta ton.

Sementara alokasi penggunaan CPO untuk biodiesel mencapai 8,46 juta kiloliter (KL) atau setara 8,4 juta ton, dan sisanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekspor 28,27 juta ton, serta kebutuhan domestik lainnya, seperti makanan dan oleokimia.

Meski hanya disalurkan sebanyak 8,4 juta kiloliter, program B30 pada tahun itu berhasil menghemat devisa sebesar Rp63,4 triliun dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 14,34 juta ton CO2.

Program B30 juga menyerap lebih dari 1 juta pekerja di sektor hulu sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

Sementara penggunaan B30 pada tahun 2021 mengurangi emisi gas rumah kaca mencapai 24,6 juta ton CO2 atau 7,8 persen dari target capaian energi terbarukan untuk tahun 2030.

Pada tahun 2023 jumlah produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 50,07 juta ton, angka ini dibagi untuk kepentingan ekspor sekitar 32 juta ton, alokasi biodiesel 13,15 juta kiloliter dan sisanya untuk sektor makanan dan oleokimia.

Pemerintah mencatat, guna mengejar wajib B40 pada Januari 2025, setidaknya industri kelapa sawit harus mampu mengalokasikan 16,08 juta kiloliter CPO agar tidak mengganggu kuantitas dan pungutan ekspor dari sektor tersebut.

Sementara untuk B50, dibutuhkan 19,7 juta kiloliter CPO untuk bisa mewajibkan penggunaan biodiesel tipe itu di Indonesia.


Siasat

Menyadari pentingnya keseimbangan produksi CPO untuk kepentingan ekspor dan kebutuhan domestik biodiesel, makanan, serta oleokimia, Pemerintah Indonesia menyiasati hal ini dengan merumuskan strategi guna memastikan program biodiesel B40 dan B50 tidak menghambat ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya.

Hal itu dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) dengan cara melakukan intensifikasi dan peremajaan perkebunan sawit guna meningkatkan produksi CPO dalam negeri.

Saat ini, rata-rata produktivitas sawit masih berada pada angka 3 ton per hektare setara CPO. Namun, melalui kedua program itu angka tersebut bisa ditingkatkan menjadi 5--6 ton per hektare.

Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiasati kekurangan CPO untuk mandatory B40 pada tahun 2025 dengan cara mendorong 24 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) untuk meningkatkan produksinya sebesar 0,3 juta kiloliter setara ton yang hingga saat ini tercatat kapasitas terpasang untuk produksi CPO sudah mencapai 15,8 juta kiloliter.

Adapun untuk program B50 di tahun 2026, Pemerintah menargetkan bakal membuat tujuh sampai sembilan pabrik baru fasilitas pengolahan CPO agar bisa memenuhi kebutuhan konversi ke biodiesel yang sebesar 19,7 juta kiloliter.

Oleh karena itu, dengan mengokohkan industri kelapa sawit dalam negeri, akan secara langsung membantu mewujudkan transisi energi dari BBM konvensional ke biodiesel, mengingat jumlah produksi sawit yang dihasilkan industri memegang peran strategis dalam menyukseskan transisi energi di tanah air.

Editor: Achmad Zaenal M