Beijing (ANTARA) - "Apa yang sedang terjadi dengan dunia ini, apa yang harus kita lakukan?" Presiden China Xi Jinping mengajukan "pertanyaan zaman kita" dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 (Group of 20/G20) di Bali, setelah sebelumnya dia mengajukan pertanyaan tersebut dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada 2017 di Davos, Swiss.

"Ekonomi dunia semakin rapuh. Lingkungan geopolitik masih tegang. Tata kelola global sangat tidak memadai. Krisis pangan dan energi saling memperburuk satu sama lain. Semua keadaan ini menjadi tantangan yang berat bagi pembangunan kita," ujarnya.

G20 menyumbang dua pertiga dari populasi dunia serta berkontribusi hampir 90 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia dan 80 persen dari perdagangan global. Oleh karena itu, menurut Xi, G20 memiliki kewajiban untuk memainkan peran utama dalam menuntun dunia keluar dari masa sulit saat ini dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi umat manusia.

"Menghadapi tantangan global, semua negara berada di perahu yang sama, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan bekerja bersama dan memperkuat kerja sama," ujar Xu Feibiao, Direktur Pusat Kajian BRICS dan G20 di Institut Hubungan Internasional Kontemporer China. "Selama anggota G20 bersatu, mereka akan membawa harapan bagi dunia untuk memperbaiki masalah-masalah global."

Sebagai pemimpin perekonomian terbesar kedua di dunia, Xi mempraktikkan apa yang dia ucapkan. Meskipun proteksionisme bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, Xi tetap teguh dalam mempertahankan globalisasi dan membangun ekonomi dunia yang terbuka.

Dalam KTT Osaka 2019, sebagai bentuk perlawanan terhadap unilateralisme dan proteksionisme yang kuat, Xi mengumumkan lima langkah utama untuk membuka pasar China lebih lanjut, termasuk meningkatkan impor dan memberikan perlakuan yang setara kepada semua jenis bisnis.

Di bawah kepemimpinan Xi, China tetap menjadi penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi global, menyumbang sekitar 30 persen dari pertumbuhan dunia selama bertahun-tahun.

Untuk "pertanyaan zaman kita," Xi memiliki jawabannya, yaitu membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. Dalam KTT G20 di Bali, Xi menyerukan kepada semua negara untuk merangkul visi tersebut, dan juga mendorong perdamaian, pembangunan, dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Foto drone yang diambil pada 28 Maret 2024 ini memperlihatkan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka. Terletak di selatan Sri Lanka, Pelabuhan Hambantota merupakan salah satu proyek utama kerja sama Sabuk dan Jalur Sutra antara China dan Sri Lanka. (Xinhua/Xu Qin)

Dalam satu dasawarsa terakhir, China telah menyumbangkan kekuatannya bagi visi menyeluruh ini dengan keyakinan yang kuat dan tindakan yang solid. Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) merupakan contoh nyata.

Sejauh ini, lebih dari 150 negara dan lebih dari 30 organisasi internasional telah menandatangani dokumen kerja sama dengan Beijing di bawah inisiatif tersebut, yang merupakan bukti dari daya tarik globalnya yang terus meningkat.

Sebagai landasan penting untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia, Xi dalam beberapa tahun terakhir mengusulkan tiga inisiatif global, yaitu Inisiatif Pembangunan Global (Global Development Initiative), Inisiatif Keamanan Global (Global Security Initiative), dan Inisiatif Peradaban Global (Global Civilization Initiative), yang menawarkan solusi China untuk mengatasi tantangan utama global yang berkaitan dengan perdamaian dan pembangunan.

"Di masa yang ditandai dengan ketakutan, irasionalitas, dan kebingungan, Xi Jinping secara tepat menyerukan pendekatan rasional untuk menyelesaikan isu-isu yang kita hadapi bersama," kata David Gosset, seorang pakar asal Prancis di bidang urusan internasional sekaligus pendiri Forum Eropa-China.

Dia menambahkan bahwa keterbukaan dan prediktabilitas China menjadi faktor penstabil utama di dunia yang penuh risiko dan ketidakpastian.