Surabaya (ANTARA) - Organisasi Muhammadiyah, yang kini memasuki ulang tahun (milad) ke-112 sejak didirikan di Yogyakarta pada 18 November 1912, memiliki hubungan erat dengan sosok KH Mas Mansur.

KH Mas Mansur, sosok Pahlawan Nasional Indonesia adalah pendiri Muhammadiyah Cabang Surabaya pada 17 April 1921, sembilan tahun setelah organisasi tersebut berdiri di Yogyakarta.

KH Mas Mansur lahir pada 25 Juni 1896 di Kampung Sawahan, Surabaya, dan wafat pada usia 50 tahun pada 25 April 1946. KH Mas Mansur adalah putra KH Mas Ahmad Marzoeki, seorang imam Masjid Ampel, dan Hj Raudhah Sagipoddin dari keluarga pesantren di Sidoresmo, Surabaya.

Ketertarikan KH Mas Mansur terhadap metode dakwah KH Ahmad Dahlan menjadi salah satu alasan utama ulama kharismatik itu bergabung dengan Muhammadiyah.

Ketertarikan tokoh besar itu diungkap dalam buku "KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur", yang awalnya merupakan skripsi karya DR H. Syaifullah, M.Ag.,.

Buku yang mengupas perjalanan hidup KH Mas Mansur, mulai dari masa mudanya hingga perannya sebagai tokoh nasional, itu kemudian diterbitkan lewat suntingan naskah oleh PW Muhammadiyah Jatim, H. Nadjib Hamid.

Dalam bedah buku "KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur" di Surabaya (27/10), diceritakan masa muda KH Mas Mansur diisi dengan pendidikan di Pesantren Syaikhona Cholil, Bangkalan, Madura, di mana ia bertemu KH Wahab Hasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah dua tahun mondok di Bangkalan, KH Mas Mansur berangkat ke Mekkah pada usia 12 tahun bersama KH Wahab Hasbullah. Kedua kawan akrab itu agaknya mewarisi “keakraban” KHM Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang juga sama-sama pernah mondok di pesantren Bangkalan.

Keberadaan keduanya untuk belajar itu juga menandai “pertemuan” KHM Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan di Mekkah. Ada sebuah tugu/prasasti yang menandai pertemuan kedua tokoh dari dua organisasi besar di Indonesia itu.

Di Mekkah, KH Mas Mansur menyaksikan gejolak Perang Dunia I, yang membuat KH Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia, sementara KH Mas Mansur melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar, Mesir, selama empat tahun. Di Mesir, ia terpengaruh oleh pemikiran modernisme Islam dari Syeikh Rasyid Ridha, murid modernis Muhammad Abduh.

Sepulangnya ke Indonesia pada 1915 saat berusia 19 tahun, KH Mas Mansur tidak ke Surabaya lebih dulu melainkan langsung menuju Yogyakarta untuk bertemu KH Ahmad Dahlan.

Dalam pertemuan itu, ia terkesan dengan metode "tafsir langsung action" KH Ahmad Dahlan, seperti penafsiran QS Al-Maun yang diwujudkan dalam aksi nyata berupa pendirian PKU Muhammadiyah (sosial), rumah sakit pendidikan (kesehatan), dan aksi kemasyarakatan atau kegiatan sosial lainnya.

Sapu kawat Jawa Timur

Pada 1921, enam tahun setelah kembali ke Indonesia, KH Mas Mansur meminta KH Ahmad Dahlan datang ke Surabaya dan menginap di tempat tinggalnya.

Dalam kesempatan itu, KH Mas Mansur menyatakan bergabung dengan Muhammadiyah dan ditunjuk sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya pada 17 April 1921. KH Ahmad Dahlan menggambarkan KH Mas Mansur sebagai "sapu kawat Jawa Timur," yang melambangkan kemampuan KH Mas Mansur menyelesaikan berbagai persoalan, dari a sampai z.

Dari kepemimpinan di Surabaya, KH Mas Mansur terus naik ke posisi strategis di Muhammadiyah, dari PWM Jatim hingga PP Muhammadiyah, termasuk mengusulkan pembentukan Majelis Tarjih pada 1927 dan lebih mengimplementasikan “gaya” KH Ahmad Dahlan..

Di tingkat pusat, KH Mas Mansur berperan dalam mengembangkan metode dakwah yang lebih modern dan terorganisasi.

KH Mas Mansur tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga sebagai aktivis pergerakan nasional. Ketika belajar di Yogyakarta, ia juga mengajar dan tinggal di kompleks rumah guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, yang bersebelahan dengan rumah Bung Karno. KH Mas Mansur sempat menjadi saksi sekaligus penghulu dalam pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati.

Di Surabaya, ia aktif berdiskusi dengan tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto. Pada 1937-1943, KH Mas Mansur bersama Ki Bagus Hadikusumo menjadi anggota PPKI dan pada tahun 1943 di BPUPKI, yang merupakan langkah awal dalam pembentukan negara Indonesia.

“KH Mas Mansur memang merupakan sosok yang lengkap, beliau merupakan agamawan, pendidik, politik/orator, dan jurnalis/redaktur," kata Dr. H. Syaifullah MAg, penulis buku "KH Mas Mansur Sapu Kawat Jawa Timur".

KH Mas Mansur dikenal sebagai "4 serangkai “ dalam MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yakni Wahono/ketua, KH Wahab Hasbullah, KH Ahmad Dahlan Achyat, dan KH Mas Mansur,” dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), bersama tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

KH Mas Mansur wafat pada 25 April 1946 dalam usia yang relatif muda akibat perlakuan buruk dari pihak NICA. KH Mas Mansur dipenjara dua kali karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang, meskipun kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan tidak diragukan.

Penyiksaan di penjara, termasuk suntikan zat kimia berbahaya, mengakibatkan kerusakan saraf yang pada akhirnya merenggut nyawanya. “Saat keponakannya membesuk di penjara pun diancam macam-macam, namun dimaklumi karena faktor syaraf itu,” kata Syaifullah.

Meskipun begitu, jasa beliau diakui oleh pemerintah dengan dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 162 Tahun 1964.

Warisan dan pemikiran KH Mas Mansur

Selain aktif dalam kegiatan agama, KH Mas Mansur, tokoh kelahiran Kampung sawahan (Jl Kalimas Udik) Surabaya itu juga aktif berorganisasi dan termasuk akrab dengan proklamator Indonesia Bung Karno.

KH Mas Mansur yang menempuh pendidikan di berbagai pesantren itu juga terlibat dalam pendirian organisasi seperti Syarikat Islam, Madrasah Nahdlatul Wathan serta Majelis Taswirul Afkar.

KH Mas Mansur mendirikan Syarikat Islam bersama HOS Tjokroaminoto (1915), mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Jl Kawatan VI/26, Surabaya) bersama KH Wahab Hasbullah (1916) serta Majelis Taswirul Afkar (Bersama KH Wahab Hasbulah dan KH Dahlan Akhyat) yang fokus pada perjuangan dan patriotisme.

Yang menarik, Madrasah Nahdlatul Wathan dan Majelis Taswirul Afkar adalah embrio cikal bakal lahirnya NU pada 1926. Namun, KH Mas Mansur lebih memilih bergabung dengan Muhammadiyah karena fokusnya pada organisasi sosial.

Selain organisatoris, KH Mas Mansur yang ditunjuk memimpin Muhammadiyah Cabang di Surabaya pada 1921 itu juga pemikir Islam yang sering menuliskan pemikirannya di media massa, yakni Soeara Santri dan Djinem. “KH Mas Mansur akhirnya meninggalkan Syarikat Islam, karena lebih suka organisasi sosial,” kata Afan Fahmi.

Perjalanan organisasi KH Mas Mansur tercatat bergerak mulai dari partai PSI pada 1926 hingga PSI pecah pada 1927, karena sikap pro-Belanda yang mengakibatkan KH Mas Mansur keluar.

Lalu Kiai besar itu bergabung dengan PII (Pastai Islam Indonesia) di Solo (1938), Partai Gabungan Politik Islam (GAMPI) pada 1939 dan tahun 1940 ke MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan embrio BPUKI bersama KH Wahid Hasyim.

Tahun 1942 terjadi invasi Jepang (PD II), lalu KH Mas Mansur dipanggil pemerintah Jepang ke Jakarta hingga 16 April 1943 untuk bergabung dengan organisasi buatan Jepang, Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Bung Karno.

Ketika NICA masuk Indonesia tahun 1945, tak ayal lagi organisasi Belanda itu pun membidik KH Mas Mansur hingga akhirnya dipenjara dan wafat di penjara (1946).

Sebagai seorang reformis, KH Mas Mansur dikenal moderat, terbuka, dan suka belajar. Pemikiran beliau menempatkan Islam sebagai kekuatan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat dari bawah. Hubungan lintas organisasi, budaya, dan ideologi yang dibangun olehnya menjadi contoh teladan bagi generasi penerus.

KH Mas Mansur adalah sosok multidimensi yang mengabdikan hidupnya untuk agama, pendidikan, politik, dan perjuangan nasional.

Warisannya sebagai ulama, pendidik, dan tokoh reformis akan terus dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat modernisme dan keterbukaan yang ia usung menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk terus memperjuangkan kemajuan umat dan bangsa.

KH Mas Mansur, kata Afan Fahmi, cucu KH Mas Mansur adalah reformis dunia Islam yang unik, karena HOS Tjokroaminoto fokus ke struktural/politik dan KH Ahmad Dahlan fokus ke kultural, sedangkan KH Mas Mansur cenderung ke kultural tapi tidak anti-struktural/pemerintahan, sehingga menggerakkan Islam dari bawah ke atas.

Ada tiga sikap penting KH Mas Mansur, yakni moderat/di tengah, suka belajar (Mesir/Mekkah), dan open minded (terbuka kepada siapapun). KH Mas Mansur dikenal sebagai tokoh lintas organisasi, lintas kultural-struktural, dan lintas ideologi.

"Keterbukaan itulah yang membuat KH Mas Mansur mampu menjalin hubungan erat dengan tokoh NU, Muhammadiyah, hingga kaum nasionalis," ujar Afan Fahmi, cucu KH Mas Mansur sekaligus dosen ITS.

Baca juga: Muhammadiyah teliti jejak Kiai Dahlan di Jawa Timur
Baca juga: Menag: teladani pendidikan Islam dari Hasyim dan Dahlan ​​​​​​​Baca juga: Wapres: Pemikiran Hasyim Asy'ari tetap relevan hadapi tantangan zaman