Banda Aceh (ANTARA) - Berjarak 12 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Aceh, terdapat sebuah perkampungan yang tersohor akan budaya dan sejarahnya. Berada di gampong atau desa ini seperti masuk ke lorong waktu Aceh tempo dulu. Desa itu bernama Lubok Sukon.

Puluhan rumoh Aceh atau rumah adat Aceh berdiri kokoh dan terawat baik di sana. Antarrumah berderet rapi berhadap-hadapan. Tak ada dapur warga bertemu halaman rumah yang lain, atau rumah yang dibangun menyamping. Semua rumah sejajar berdiri di kawasan desa seluas 112 hektare itu.

Desa Wisata Lubuk Sukon ini sangat asri. Kebanyakan rumah warga di sana berdiri tanpa dipagari beton, namun bak thee jadi andalan. Tanaman semak itu menghiasi halaman rumah warga, menyuguhkan suasana sejuk dan nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Sulit menemukan sampah berserak di jalanan desa ini. Juga tak ada ternak yang berkeliaran di tengah permukiman. Karena semua diatur ada tempat dan lokasi masing-masing. Hal ini dilandasi kesadaran warga akan kebersihan cukup tinggi sejak zaman dulu. Belum lagi, denyut nadi gotong royong juga masih kuat.

“Kalau kita lihat tata wilayah desanya sangat indah. Karena itu semua, menariknya, sudah diatur resam-resam (aturan) gampong, yang luar biasa, sejak zaman dulu,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Lubok Sukon Fahry Purnama.

Rumoh Aceh ini tak hanya hunian, tetapi simbol kearifan lokal dan warisan leluhur yang mesti dijaga.

Rumoh Aceh sangat mudah dikenali dengan ciri khasnya, yaitu model rumah panggung, memiliki enam tiang setinggi orang dewasa, lantai dan dinding kayu, serta beratap anyaman rumbia.

Kehadiran rumah-rumah Aceh ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Lubok Sukon sehingga pada 2013, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbdudpar) Aceh menetapkan Lubok Sukon sebagai desa wisata pertama di provinsi berjulukan Tanah Rencong itu.

Desa ini menyimpan sejarah dan budaya Aceh yang masih sangat kental. Selain puluhan rumah adat Aceh yang masih asli, begitu juga kehidupan warganya yang kuat merawat tradisi serta semangat gotong royong.

Dengan segala potensi yang ada, sayangnya aktivitas pengembangan wisata di desa ini sempat vakum usai menjadi desa wisata. Lantaran penetapan pada masa itu tidak diikuti dengan pembinaan lanjutan dari pemerintah terkait kesiapan sumber daya manusia (SDM).

Seiring berjalan waktu, mulai bermunculan desa wisata lainnya seperti Desa Wisata Nusa atau Gampong Wisata Nusa, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.

Saat itu Nusa lebih dikenal karena desa wisata ini bergerak dari masyarakat, timbul ke atas, sedangkan Lubok Sukon ditetapkan dari atas ke bawah tapi belum ada pembinaan SDM.

Pada 2021, Desa Wisata Lubok Sukon bangkit lagi untuk mengembangkan potensi yang ada. Fahry Purnama adalah sosok yang berada dibalik itu.

Keberadaan rumah-rumah Aceh ini membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa melalui pengembangan potensi pariwisata.

Ia bersama pemuda-pemudi desa menyusun kembali arah pengembangan Desa Wisata Lubok Sukon, rebranding, hingga melahirkan paket-paket wisata untuk mendulang ekonomi warga perdesaan lewat label desa wisata.

Mereka memberi nyawa kedua bagi desa wisata ini yang disambut dengan kesiapan SDM melalui pembinaan. Mereka bekerja sama dengan perguruan tinggi dan Disbudpar Aceh untuk melatih penggiat wisata desa ini hingga akhirnya mengawali ajang dengan festival desa wisata.

Salah satu yang ditawarkan Desa Wisata Lubok Sukon kepada wisatawan ialah paket wisata Wet-Wet Gampong atau keliling desa.

Mereka mengangkat potensi budaya untuk mendukung wisata, mulai dari rumah adat, upacara adat, hingga kekayaan kuliner lokal seperti, sie reboh, ayam tangkap, masam keu-eung, kuah beulangong, dan lainnya yang menjadi khas perdesaan.

Selain mengunjungi rumah adat, pembuatan kuliner khas dan produk lokal, dalam paket Wet-Wet Gampong ini wisatawan juga dapat melihat beragam atraksi permainan tradisional seperti egrang, bakiak batok kelapa, perosotan pelepah pohon pinang, dan lainnya.

“Lubok Sukon ini sering disebut the little of Aceh, Aceh mini karena memang didukung rumoh Aceh masih asri, pagar bak thee yang masih dirawat oleh masyarakat desa,” ujarnya.

Di antara rumah-rumah warga lain, ada dua rumoh Aceh miliki tokoh yang tersohor pada masa lampau di desa itu, yakni rumah Aceh milik Tje’Mat Rahmany dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Muzakkir Walad.

Tje’Mat Rahmany merupakan Duta Luar Negeri RI masa lampau, putra kelahiran Desa Wisata Lubuk Sukon pada 1917. Sementara Abdullah Muzakkir Walad merupakan Gubernur Aceh periode 1968--1978 yang juga lahir di Desa Wisata Lubuk Sukon pada 1920.

Rumah keduanya juga menjadi museum di Desa Wisata Lubuk Sukon, yang dapat dikunjungi wisatawan. Untuk paket Wet-Wet Gampong, biasanya wisatawan hanya membayar Rp50 ribu per orang, mereka sudah bisa menikmati suasana perkampungan Aceh yang kaya akan tradisi dan budaya.

Selain sebagai hunian, beberapa rumoh Aceh milik warga setempat juga difungsikan sebagai penginapan atau homestay. Wisatawan hanya membayar Rp100 ribu per malam untuk menginap.

Upaya pengembangan itu juga mendapat apresiasi dari pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kala itu. Desa Lubok Sukon berhasil meraih juara harapan dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 atau masuk dalam 75 desa wisata terbaik di Tanah Air.

Warga Desa Wisata Lubok Sukon Putri Aprila Balqis (26) menyebut rumah adat Aceh ini sudah menjadi ikon desa sejak lama. Bagi masyarakat, rumoh Aceh bukan sekadar simbol, melainkan warisan pendahulu yang harus terus dilestarikan.

Jadi, wisatawan bisa melihat rumah Aceh tempo dulu. Inilah salah satu alasannya mempertahankan rumah Aceh ini.

Balqis yang juga pengurus Pokdarwis Lubok Sukon ini menyebut hampir setiap bulan ada wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Lubok Sukon, domestik maupun mancanegara seperti Malaysia, Jepang, Thailand, dan negara lainnya.

Sepanjang 2024, sudah ada sekitar 1.000 wisatawan yang sudah berkunjung ke Lubok Sukon. Ada di antara mereka yang menginap, memilih paket Wet Wet Gampong, dan atraksi wisata, atau hanya memesan paket kuliner untuk menikmati santapan siang bersama dengan nuansa pedesaan.

Ke depan, pengelola wisata terus meningkatkan peran UMKM agar lebih banyak tenaga kerja terserap di desa ini.
Warga mengikuti pelatihan pembuatan produk kerajinan berupa sendok dari batok kelapa di desa wisata, Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (21/9/2022). ANTARA FOTO/Ampelsa


Tantangan

Di sisi lain, Pokdarwis menyebut tantangan yang harus dihadapi Desa Wisata Lubok Sukon saat ini ialah penurunan jumlah rumoh Aceh desa itu.

Pada tahun 2012, terdapat sekitar 80-an rumoh Aceh. Namun, saban tahun, jumlah rumah tersebut terus turun dan saat ini tersisa sekitar 25 rumoh Aceh.

Salah satu faktornya ialah para pemilik merenovasi rumoh Aceh tersebut menjadi rumah berbahan beton, untuk menjawab kebutuhan tempat tinggal. “Ini tantangan yang dihadapi Lubok Sukon,” ujar Fahry.

Kendati demikian, penggiat wisata Desa Wisata Lubok Sukon melalui pokdarwis terus berupaya membangun rasa cinta dalam diri masyarakat terhadap rumoh Aceh, dengan harapan mau mempertahankan bangunannya.

Oleh karena itu, rasa cinta harus dibangun kembali. Begitu pula rasa bangga pada desa ini. Rasa memiliki juga harus dibangkitkan karena desa ini punya potensi.

Dukungan

Kepala Disbudpar Aceh Almuniza Kamal menyebut menikmati pariwisata Aceh, tentu dibarengi dengan budaya di daerah Tanah Rencong itu sendiri yang sangat melekat dengan syariat Islam.

Seperti halnya Desa Wisata Lubok Sukon yang hingga saat ini masih melestarikan tradisi budaya, rumah adat Aceh, hingga kehidupan keseharian masyarakat yang masih erat dengan kebersamaan dan gotong royong. Warga mengemas ini menjadi destinasi wisata.

“Jadi ini sesuatu yang berbeda, bukan hanya kehidupan warganya tapi fisiknya, kampung asli Aceh masih ada di situ. Semoga ini menjadi kekuatan Aceh di masa depan, dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Lubok Sukon,” ujarnya.

Geliat pengembangan desa wisata menjadi sumber ekonomi baru bagi masyarakat ini tidak berjalan sendiri. Pemerintah Aceh melalui Disbudpar setiap tahun mengucurkan anggaran untuk mendukung pengembangan pariwisata di Tanah Rencong itu.

Disbudpar juga mengambil peran untuk menyiapkan SDM yang mumpuni di sektor pariwisata Aceh, seperti pelatihan bagi pemandu, pelaku pariwisata di desa-desa wisata, dan pembinaan lainnya.

Pemerintah juga terus meningkatkan promosi pariwisata Aceh melalui berbagai ajang di dalam maupun luar negeri.

Sudah saatnya desa-desa di Indonesia mandiri fiskal, salah satunya dapat diraih dengan mengangkat potensi masing-masing dari sektor pariwisata sehingga masyarakat perdesaan lebih sejahtera.

Editor: Achmad Zaenal M