Jaga imun tubuh, kunci atasi tuberkulosis
18 November 2024 15:36 WIB
Arsip foto - Peneliti mengamati ekstrak bahan alam untuk imunomodulator (peningkat imun tubuh) bagi pasien COVID-19 di Laboratorium Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/7/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana PutrA/pras.
Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru RSPI Bintaro, Dr dr Raden Rara Diah Handayani, Sp.P(K), menyatakan bahwa tuberkulosis (TB) dapat diatasi dengan menjaga kesehatan tubuh melalui pemenuhan nutrisi yang baik.
“Pemberian obat-obatan untuk meningkatkan imun tubuh harus dilakukan di bawah pengawasan dokter, karena kondisi pasien sangat mempengaruhi pengobatan,” kata Dr Raden dalam keterangannya pada Senin.
Menurutnya, individu dengan kekebalan tubuh yang rendah lebih rentan terkena penyakit TB, termasuk anak-anak di bawah lima tahun yang berisiko mengalami TB berat. Sebaliknya, pada individu dengan imunitas yang baik, pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari reaktivasi infeksi menjadi TB aktif.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 30-50 persen orang yang tinggal serumah dengan pasien TB telah mengalami infeksi TB laten. Dari jumlah tersebut, 10-15 persen diperkirakan akan berkembang menjadi TB aktif, terutama jika mengalami penurunan imunitas, seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, diabetes melitus dengan gula darah yang tidak terkendali, gizi buruk, perokok, dan pengguna alkohol.
Baca juga: Menkes sebut upaya eliminasi TBC dimulai dengan deteksi kasus
WHO merekomendasikan Terapi Pencegahan TB (TPT) bagi orang yang kontak erat dengan pasien TB dan telah terinfeksi TB laten. Terapi ini melibatkan penggunaan obat-obatan seperti rifampentin dan isoniazid selama tiga bulan (3HP), satu bulan penuh (1HP), atau isoniazid selama enam bulan (INH 6 bulan), serta kombinasi isoniazid dan rifampisin selama tiga bulan (3HR).
“Selain terapi pencegahan dan vaksinasi, menjaga kesehatan tubuh secara aktif sangat penting. Hal ini mencakup pemenuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat yang cukup, mengontrol penyakit komorbid seperti diabetes melitus (DM) dan HIV dengan pengobatan yang tepat, serta rutin berolahraga,” tambahnya.
Untuk pasien yang terdiagnosis TB aktif, dokter biasanya memberikan pengobatan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan, selama enam bulan. Tahap intensif berlangsung dua bulan dengan kombinasi obat rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid (RHZE), dilanjutkan tahap lanjutan selama empat bulan dengan rifampisin dan isoniazid (RH).
Dr. Raden juga menegaskan pentingnya menjaga kesehatan tubuh melalui nutrisi yang cukup selama pengobatan TB.
Terkait penggunaan imunomodulator, Prof. Raymond Tjandrawinata, seorang farmakolog molekuler, memaparkan hasil uji klinis imunomodulator berbahan tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) pada pasien TB paru. Uji ini menilai efikasi berdasarkan perbaikan klinis (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologis melalui foto toraks.
Dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan terapi obat, pencegahan, dan perbaikan gaya hidup, diharapkan penanganan TB dapat lebih efektif dan angka penyebarannya dapat ditekan.
Baca juga: Percepat eliminasi, Menkes targetkan sejuta temuan kasus TBC pada 2025
Baca juga: 8 juta kasus baru dilaporkan saat TB jadi penyakit mematikan di dunia
“Pemberian obat-obatan untuk meningkatkan imun tubuh harus dilakukan di bawah pengawasan dokter, karena kondisi pasien sangat mempengaruhi pengobatan,” kata Dr Raden dalam keterangannya pada Senin.
Menurutnya, individu dengan kekebalan tubuh yang rendah lebih rentan terkena penyakit TB, termasuk anak-anak di bawah lima tahun yang berisiko mengalami TB berat. Sebaliknya, pada individu dengan imunitas yang baik, pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari reaktivasi infeksi menjadi TB aktif.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 30-50 persen orang yang tinggal serumah dengan pasien TB telah mengalami infeksi TB laten. Dari jumlah tersebut, 10-15 persen diperkirakan akan berkembang menjadi TB aktif, terutama jika mengalami penurunan imunitas, seperti yang terjadi pada penderita HIV yang tidak diobati, diabetes melitus dengan gula darah yang tidak terkendali, gizi buruk, perokok, dan pengguna alkohol.
Baca juga: Menkes sebut upaya eliminasi TBC dimulai dengan deteksi kasus
WHO merekomendasikan Terapi Pencegahan TB (TPT) bagi orang yang kontak erat dengan pasien TB dan telah terinfeksi TB laten. Terapi ini melibatkan penggunaan obat-obatan seperti rifampentin dan isoniazid selama tiga bulan (3HP), satu bulan penuh (1HP), atau isoniazid selama enam bulan (INH 6 bulan), serta kombinasi isoniazid dan rifampisin selama tiga bulan (3HR).
“Selain terapi pencegahan dan vaksinasi, menjaga kesehatan tubuh secara aktif sangat penting. Hal ini mencakup pemenuhan gizi yang baik, menghentikan kebiasaan merokok, istirahat yang cukup, mengontrol penyakit komorbid seperti diabetes melitus (DM) dan HIV dengan pengobatan yang tepat, serta rutin berolahraga,” tambahnya.
Untuk pasien yang terdiagnosis TB aktif, dokter biasanya memberikan pengobatan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan, selama enam bulan. Tahap intensif berlangsung dua bulan dengan kombinasi obat rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid (RHZE), dilanjutkan tahap lanjutan selama empat bulan dengan rifampisin dan isoniazid (RH).
Dr. Raden juga menegaskan pentingnya menjaga kesehatan tubuh melalui nutrisi yang cukup selama pengobatan TB.
Terkait penggunaan imunomodulator, Prof. Raymond Tjandrawinata, seorang farmakolog molekuler, memaparkan hasil uji klinis imunomodulator berbahan tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) pada pasien TB paru. Uji ini menilai efikasi berdasarkan perbaikan klinis (konversi sputum BTA) serta perbaikan radiologis melalui foto toraks.
Dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan terapi obat, pencegahan, dan perbaikan gaya hidup, diharapkan penanganan TB dapat lebih efektif dan angka penyebarannya dapat ditekan.
Baca juga: Percepat eliminasi, Menkes targetkan sejuta temuan kasus TBC pada 2025
Baca juga: 8 juta kasus baru dilaporkan saat TB jadi penyakit mematikan di dunia
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024
Tags: