Ombudsman: Negara bisa tuai Rp279 triliun jika perbaiki industri sawit
18 November 2024 13:31 WIB
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika memberi paparan terkait pencegahan maladministrasi dalam layanan tata kelola industri kelapa sawit di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/11/2024). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan negara bisa menuai pendapatan tambahan sebesar Rp279,1 triliun apabila memperbaiki tata kelola industri sawit.
“Kalau tata kelola industri sawit bisa diperbaiki, maka minimalnya negara akan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp279,1 triliun,” ujar Yeka saat memberi paparan terkait pencegahan maladministrasi dalam layanan tata kelola industri kelapa sawit di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin.
Yeka menjelaskan bahwa Ombudsman menemukan tiga aspek utama yang menjadi titik rentan terjadinya maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit, yakni lahan, perizinan, dan tata niaga.
Permasalahan yang paling sering ditemukan dalam aspek lahan adalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Permasalahan tersebut, menurut Yeka, perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan Hak Atas Tanah (HAT) dan pengakuan hukum lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit pada aspek perizinan adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B), sertifikasi ISPO, dan adanya ketidakpastian layanan persetujuan teknis (pertek) pemanfaatan air limbah pabrik kelapa sawit untuk aplikasi ke lahan.
Kemudian, pada aspek ketiga, yakni tata niaga, permasalahan utama yang sering ditemukan adalah perizinan pabrik kelapa sawit (PKS), program kebijakan perdagangan produk turunan kelapa sawit, serta pengelolaan dana sawit.
“Kalau kita jumlahkan potensi kerugian di aspek lahan, aspek perizinan, dan aspek tata niaga, kerugiannya mencapai Rp279,1 triliun,” kata Yeka.
Yeka mengatakan bahwa permasalahan integrasi kebijakan dapat diperbaiki dengan adanya satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit.
Kelembagaan tersebut, lanjut dia, nantinya diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit, sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut.
“Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah presiden,” ucap dia.
Baca juga: Mahfud: Pidana penggelapan sawit hitung kerugian perekonomian negara
Baca juga: KPK sita pabrik pengolahan sawit Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada
“Kalau tata kelola industri sawit bisa diperbaiki, maka minimalnya negara akan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp279,1 triliun,” ujar Yeka saat memberi paparan terkait pencegahan maladministrasi dalam layanan tata kelola industri kelapa sawit di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Senin.
Yeka menjelaskan bahwa Ombudsman menemukan tiga aspek utama yang menjadi titik rentan terjadinya maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit, yakni lahan, perizinan, dan tata niaga.
Permasalahan yang paling sering ditemukan dalam aspek lahan adalah tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Permasalahan tersebut, menurut Yeka, perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan Hak Atas Tanah (HAT) dan pengakuan hukum lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit pada aspek perizinan adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B), sertifikasi ISPO, dan adanya ketidakpastian layanan persetujuan teknis (pertek) pemanfaatan air limbah pabrik kelapa sawit untuk aplikasi ke lahan.
Kemudian, pada aspek ketiga, yakni tata niaga, permasalahan utama yang sering ditemukan adalah perizinan pabrik kelapa sawit (PKS), program kebijakan perdagangan produk turunan kelapa sawit, serta pengelolaan dana sawit.
“Kalau kita jumlahkan potensi kerugian di aspek lahan, aspek perizinan, dan aspek tata niaga, kerugiannya mencapai Rp279,1 triliun,” kata Yeka.
Yeka mengatakan bahwa permasalahan integrasi kebijakan dapat diperbaiki dengan adanya satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit.
Kelembagaan tersebut, lanjut dia, nantinya diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit, sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut.
“Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah presiden,” ucap dia.
Baca juga: Mahfud: Pidana penggelapan sawit hitung kerugian perekonomian negara
Baca juga: KPK sita pabrik pengolahan sawit Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: