Jakarta (ANTARA) - Ketegangan yang berkembang di Laut China Selatan, dengan klaim wilayah yang tumpang tindih dan sumber daya alam yang melimpah, telah menjadi ujian bagi diplomasi Indonesia.

Sebagai negara dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia harus mengadopsi pendekatan diplomatik yang fleksibel dan hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan kedaulatan dan mendukung stabilitas kawasan.

Dalam pernyataan bersama antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping, ada pesan yang jelas bahwa Indonesia bukan mengakui klaim sepihak China atas Laut China Selatan, melainkan lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa dengan cara yang damai melalui dialog dan kerja sama internasional.

Pernyataan itu adalah cerminan upaya Indonesia untuk tetap menjaga hubungan baik dengan China tanpa mengorbankan hak-hak berdaulat atas wilayah Laut Natuna Utara.

Pendekatan itu menunjukkan fleksibilitas diplomatik yang menjadi ciri khas Indonesia, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur diplomasi.

Rencana dialog yang akan dijalin antara Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Penjaga Pantai China (Coast Guard of China), serta pernyataan dari Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), menegaskan bahwa Indonesia berupaya mengurangi ketegangan dan mencegah eskalasi konflik.

Bagi Indonesia, dialog bukanlah tanda kelemahan, melainkan upaya untuk menciptakan stabilitas dan membangun saluran komunikasi yang konstruktif.


Mengelola hubungan

Diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sebuah kecerdikan dalam mengelola hubungan internasional yang kompleks.

Sebagai seorang yang memiliki pengalaman luas di sektor pertahanan dan dalam pergaulan internasional, Prabowo berupaya mengelola hubungan Indonesia dengan China secara bijaksana.

Sebagai sosok yang dikenal tegas namun fleksibel dalam pendekatan politik luar negeri, Prabowo menunjukkan bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya terletak pada kemampuan militer semata, tetapi juga pada kemampuannya untuk menjalin dialog yang konstruktif.

Ia tidak hanya memperhatikan aspek pertahanan, tetapi juga menekankan pentingnya dialog untuk mengurangi potensi konflik. Kebijakan Indonesia dalam isu ini adalah mengutamakan kerja sama internasional sambil tetap menegaskan kedaulatan negara di Laut China Selatan.

Indonesia berupaya menjaga keseimbangan antara mempererat hubungan dengan negara besar seperti China dan mempertahankan kepentingan nasional, dengan berfokus pada penyelesaian damai dan pencegahan ketegangan lebih lanjut.

Pendekatan diplomatik yang diambil oleh Prabowo juga mencerminkan pemahaman mendalam terhadap dinamika global, yang mengharuskan Indonesia untuk tetap menjaga hubungan baik dengan semua negara besar sambil tetap setia pada prinsip-prinsip kedaulatan dan perdamaian.

Dengan langkah-langkah yang terukur ini, Indonesia memperlihatkan komitmen untuk terlibat aktif dalam menjaga stabilitas kawasan tanpa terjerumus dalam konfrontasi yang merugikan.




Memahami diplomasi Indonesia di Laut China Selatan

Untuk lebih memahami kebijakan luar negeri Indonesia, kita dapat merujuk pada dua teori utama yang relevan dalam hubungan internasional, yaitu neorealisme dan konstruktivisme. Kedua teori ini dapat membantu menjelaskan sikap Indonesia dalam menghadapi ketegangan di Laut China Selatan.

Neorealisme, yang menekankan pentingnya negara untuk bertahan hidup dalam sistem internasional yang anarkis, dapat digunakan untuk memahami pendekatan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negara.

Dalam konteks Laut China Selatan, meskipun ada klaim sepihak atas wilayah, Indonesia tetap berusaha menjaga keamanan nasional dan mempertahankan haknya di bawah kerangka hukum internasional, seperti UNCLOS 1982.

Indonesia memilih untuk menghindari konfrontasi langsung dan lebih mengutamakan dialog sebagai cara untuk mengelola ketegangan, namun tetap menjaga kedaulatan negara melalui pembangunan kekuatan pertahanan.

Di sisi lain, teori konstruktivisme menyoroti peran identitas dan nilai-nilai sosial dalam hubungan internasional. Konstruktivisme melihat bahwa negara tidak hanya bertindak berdasarkan kepentingan materi semata, tetapi juga berdasarkan norma, nilai, dan persepsi yang dibangun melalui interaksi antarnegara.

Dalam hal ini, kebijakan luar negeri Indonesia mencerminkan identitas negara yang berkomitmen pada penyelesaian damai dan kerja sama multilateral. Melalui dialog dengan China, Indonesia membentuk narasi yang mendukung penyelesaian perselisihan secara damai, sambil tetap memperjuangkan hak-haknya di Laut China Selatan.


Jembatan perdamaian

Indonesia yang terletak di pusat kawasan Indo-Pasifik memiliki peran penting sebagai jembatan perdamaian antara negara-negara yang terlibat dalam ketegangan Laut China Selatan.

Sebagai negara yang mendasarkan kebijakannya pada prinsip non-intervensi, Indonesia memanfaatkan posisi strategisnya untuk memfasilitasi dialog antara pihak-pihak yang bertikai. Dialog ini bukan hanya untuk mencegah eskalasi konflik, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih stabil dan saling menguntungkan.

Langkah Indonesia mendukung pembentukan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan adalah contoh konkret dari upaya diplomatik membangun saluran komunikasi antarnegara di kawasan ini. CoC bertujuan mengatur perilaku negara-negara yang terlibat dalam sengketa, menciptakan landasan hukum penyelesaian perselisihan, serta menghindari tindak kekerasan.

Indonesia terus mendorong agar CoC dapat segera diadopsi dan diimplementasikan secara efektif, memberikan perlindungan terhadap kedaulatan Indonesia, terutama di wilayah ZEE Laut Natuna Utara.

Dengan langkah-langkah diplomatik yang berkesinambungan dan peningkatan kemampuan pertahanan maritim, Indonesia memperlihatkan bahwa diplomasi bukan hanya tentang menjaga hubungan baik, tetapi juga tentang menjaga hak-hak maritim negara.

Pendekatan yang hati-hati dan bijaksana ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya memperjuangkan kepentingannya, tetapi juga berkomitmen untuk menjaga perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.



*) Khairul Fahmi adalah Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)