Jakarta (ANTARA) - Jika di masa-masa sebelumnya, negara tertentu ditakuti karena memiliki cadangan nuklir atau senjata dalam jumlah besar, paradigma itu mulai berubah di era ini.

Negara-negara yang disegani justru mereka yang mampu mewujudkan swasembada pangan dan menjadi lumbung pangan dunia.

Dunia memang sedang menghadapi ancaman krisis pangan yang semakin mengkhawatirkan, sehingga siapapun yang memiliki kemampuan atau sumber daya untuk memproduksi pangan secara berkelanjutan, maka negara-negara itulah yang akan kuat.

Oleh karena itu, kini konsep terkait swasembada pangan hingga ketahanan pangan menjadi bahan perdebatan. Bahkan, dijungkirbalikkan oleh pakar-pakar yang memiliki pretensi atas negaranya yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk memproduksi pangan.

Mantan Direktur Jenderal FAO Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) Prof. José Graziano da Silva justru lebih fokus pada akses terhadap pangan dan keamanan pangan daripada swasembada secara murni.

Bagi FAO, swasembada pangan bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi kelaparan. Sebaliknya, ia menekankan pada pentingnya diversifikasi pasokan pangan dan pengembangan pasar global yang efisien untuk mengatasi tantangan pangan di seluruh dunia.

Meskipun begitu, di negara-negara berkembang, yang lebih rentan terhadap ketergantungan impor pangan, kebijakan swasembada tetap bisa berguna sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional.

Sementara Dr. Shenggen Fan, pakar terkemuka dalam penelitian ketahanan pangan dan kebijakan pertanian, juga tidak menganggap swasembada pangan sebagai tujuan utama.

Menurut mantan Dirjen International Food Policy Research Institute (IFPRI) itu ketahanan pangan yang lebih penting adalah bagaimana mewujudkan akses pangan yang cukup dan bergizi bagi masyarakat di setiap negara.

Ia berpendapat bahwa kerja sama internasional dan perdagangan pangan global bisa membantu negara-negara yang tidak mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka.

Swasembada, dalam pandangannya, lebih relevan untuk negara-negara yang sangat bergantung pada impor pangan atau yang memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik.

Lebih jauh lagi, Dr. Bruce Campbell, yang bekerja di program CCAFS, menganggap bahwa swasembada pangan dalam arti sempit sering kali tidak praktis dalam menghadapi perubahan iklim dan ketidakpastian global.

Fokus dari tokoh yang sempat memimpin riset Climate Change, Agriculture, and Food Security (CCAFS) itu lebih pada adopsi teknologi pertanian berkelanjutan, diversifikasi produksi pangan, dan peningkatan kapasitas adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim, yang lebih relevan dalam konteks ketahanan pangan.

Namun, swasembada pangan dapat bermanfaat di daerah-daerah tertentu yang sangat bergantung pada produksi domestik pangan.

Prof. Marie Ruel, mantan Direktur Program Kemiskinan, Kesehatan, dan Nutrisi di International Food Policy Research Institute (IFPRI), percaya bahwa swasembada pangan tidak dapat berdiri sendiri sebagai solusi utama untuk masalah kelaparan dan kekurangan gizi.

Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang menyeluruh, di mana kebijakan pangan harus mencakup akses pangan yang cukup dan bergizi serta pendidikan gizi.

Swasembada bisa menjadi penting bagi negara-negara tertentu, tetapi kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan akan lebih efektif.

Secara umum, para pakar ini setuju bahwa swasembada pangan bisa menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan di negara-negara tertentu, namun tidak selalu menjadi solusi jangka panjang untuk seluruh dunia.

Mereka menekankan pentingnya pendekatan yang lebih terintegrasi, dengan memperhatikan akses pangan yang adil, kerja sama internasional, perdagangan global, dan keberlanjutan pertanian.

Jadi di tingkat global, swasembada pangan, meskipun bermanfaat di beberapa konteks, tidak dianggap sebagai solusi tunggal dalam menciptakan ketahanan pangan global.

Namun secara umum memang, para pakar ketahanan pangan global saat ini memiliki pandangan yang berbeda tentang swasembada pangan (self-sufficiency), terutama dalam konteks modern yang menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, globalisasi perdagangan pangan, dan kebutuhan untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan.


Relevansi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada pangan dengan memulai dari perdesaan bukan sekadar program politik, melainkan sebuah visi besar yang bertujuan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menekankan pentingnya memberdayakan sektor pertanian di desa sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan.

Prabowo pernah ditakuti kalangan asing atas potensi kebijakannya, termasuk di sektor pangan yang bakal cenderung proteksionis, terlebih mengingat Indonesia punya sumber daya melimpah yang mendukung untuk menjadi lumbung pangan dunia.

Faktanya, memang langkah swasembada pangan bagi Indonesia, saat ini menjadi semakin relevan untuk tujuan kemandirian dan nasionalisme sekaligus meningkatkan daya tawar di tingkat internasional.

Sebab swasembada pangan di Indonesia sebagaimana yang diinginkan Presiden Prabowo, bukan hanya soal peningkatan produksi pangan, tetapi juga soal membangun sistem yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis teknologi yang dapat menciptakan kemandirian di tingkat lokal.

Indonesia sebagai negara agraris dengan tanah yang subur dan kekayaan alam yang melimpah, namun sayangnya masih menghadapi berbagai tantangan dalam memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Impor pangan yang terus meningkat, harga pangan yang tidak stabil, serta ketimpangan distribusi antara desa dan kota adalah masalah-masalah yang harus segera diatasi.

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inovatif, terarah, dan berdampak langsung pada petani desa harus menjadi kunci untuk mewujudkan swasembada pangan.


Revitalisasi pertanian

Salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan ini adalah dengan memberdayakan petani desa melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih luas.

Pemberdayaan petani bukan hanya soal memberikan mereka alat atau subsidi, tetapi lebih kepada mengubah pola pikir mereka menjadi lebih mandiri dan berkelanjutan.

Program pelatihan yang menyeluruh, mulai dari teknik bertani yang efisien, pengelolaan usaha tani yang lebih profesional, hingga pemahaman tentang pasar global, akan membantu petani desa meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian mereka.

Namun, pemberdayaan petani tidak cukup tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh petani desa adalah akses yang terbatas ke pasar, yang menyebabkan distribusi pangan tidak efisien dan harga yang tidak stabil.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas penyimpanan yang lebih baik, serta penguatan sistem distribusi pangan adalah langkah krusial yang perlu mendapat perhatian lebih.

Konektivitas yang lebih baik antar desa dan kota akan memastikan hasil pertanian dapat menjangkau pasar dengan lebih cepat, mengurangi biaya distribusi, dan memastikan petani mendapatkan harga yang adil.

Selain itu, dalam era digital, teknologi memainkan peran yang sangat penting dalam mengubah wajah pertanian di desa.

Teknologi seperti penggunaan drone untuk pemetaan lahan, aplikasi untuk memantau cuaca dan kualitas tanah, serta penggunaan pupuk organik berbasis bio, bisa meningkatkan efisiensi pertanian secara signifikan.

Namun, penerapan teknologi ini memerlukan pelatihan dan akses yang mudah bagi petani desa, yang sering kali terhambat oleh kurangnya pengetahuan atau fasilitas yang memadai.

Oleh karena itu, inisiatif untuk menyediakan pelatihan teknologi yang berbasis komunitas, serta akses ke perangkat dan aplikasi pertanian digital, perlu didorong oleh pemerintah dan sektor swasta.

Teknologi yang tepat dan pemberdayaan petani, jika didukung dengan kebijakan yang mengutamakan keberlanjutan, dapat menciptakan ketahanan pangan yang lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada impor.


Nasionalisme pangan

Terobosan terbesar dalam mewujudkan swasembada pangan melalui desa adalah dengan membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan petani dan masyarakat luas.

Ketahanan pangan yang kuat adalah fondasi dari kemandirian suatu bangsa. Dengan memberdayakan desa, maka ini tidak hanya memperbaiki perekonomian lokal, tetapi juga menciptakan rasa kebanggaan nasional yang lebih besar.

Petani yang sejahtera akan menjadi simbol kekuatan bangsa yang mandiri, dan itu adalah langkah penting menuju Indonesia yang lebih berdaulat.

Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan sinergi antara kebijakan pemerintah, dukungan sektor swasta, dan partisipasi aktif masyarakat.

Ini bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tugas bersama seluruh elemen bangsa untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi konsumen pangan, tetapi juga produsen pangan yang tangguh dan berkelanjutan.

Visi Presiden Prabowo untuk swasembada pangan yang dimulai dari desa memang mengandung potensi besar untuk mengubah arah pembangunan pertanian di Indonesia.

Dengan pendekatan yang tepat, pemberdayaan petani, pemanfaatan teknologi, serta pembangunan infrastruktur yang mendukung, upaya ini tidak hanya akan menciptakan ketahanan pangan yang lebih baik, tetapi juga menumbuhkan semangat kebangsaan yang lebih kuat.

Inilah saat yang tepat untuk menggali potensi desa, memberdayakan petani, dan memperkuat ketahanan pangan sebagai landasan untuk masa depan Indonesia yang lebih mandiri dan berdaulat.