Jakarta (ANTARA) - Anggota KPU RI Idham Holik menegaskan bahwa Formulir (Form) C1 sudah sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Hal itu disampaikan Idham ketika respons temuan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) terkait dengan dokumen Form C1 yang telah dicetak dan diterima petugas KPU di sejumlah daerah memuat kesalahan karena tidak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Sudah sesuai Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 2015," kata Idham saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Sabtu.

Form C1 juga sudah sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

"PKPU Nomor 17 Tahun 2024 sudah sesuai dengan UU Pilkada," ujarnya.

Adapun aturan tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat (21) dan (22) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 yang berbunyi, "Pemilih pindahan adalah pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap, namun karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar dan memberikan suara di TPS lain dan dicatat dalam daftar pemilih pindahan."

Dijelaskan pula dalam PKPU tersebut bahwa pemilih tambahan adalah pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap, namun memenuhi syarat dilayani penggunaan hak pilihnya pada hari dan tanggal pemungutan suara, dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.

Baca juga: SPD soroti soal Formulir C1 untuk Pilkada 2024
Baca juga: Ketua KPU Medan klarifikasi kasus pencurian Form C1 di Medan Denai


Sebelumnya, Jumat (15/11), peneliti SPD Dian Permata mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut berkaitan dengan penggunaan terminologi pemilih dalam Form C1 tidak sesuai dengan yang diamanatkan UU Pilkada.

"KPU tidak konsisten dalam menggunakan istilah DPT (daftar pemilih tetap), DPTb (daftar pemilih tambahan), DPK (daftar pemilih khusus), dan seterusnya," kata Dian di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat.

Dikatakan pula oleh Dian bahwa istilah DPK tidak dikenal dalam pelaksanaan pilkada karena hal itu hanya terdapat pada pemilihan umum (pemilu) yang di dalamnya melaksanakan 5 jenis pemilihan, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) serta pemilihan anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).

"Pada rezim pemilu memang ada tiga jenis klaster (pemilih yang didata KPU), yaitu pemilih DPT, DPTb, dan DPK, sedangkan pada pilkada itu pemilih DPT, DPTb, dan pemilih pindahan," ujarnya.

Hanya saja dalam Form C1 yang ditemukannya seperti di Banten menjadi masalah lantaran memuat istilah jenis pemilih Pilkada 2024 yang salah.

Istilah daftar pemilih khusus atau DPK masuk ke dalam Form C1, padahal seharusnya daftar pemilihan pindahan (DPP).

Sementara itu, daftar pemilih pindahan dalam Form C1 yang tercetak disingkat DPTb dan daftar pemilih tambahan disingkat DPK.

Selain itu, istilah DPK yang sudah tercetak di dalam Form C1 ikut masuk atau termuat di dalam peraturan KPU (PKPU) terkait penyusunan data pemilih dan juga penghitungan dan pemungutan suara (tungsura), termasuk rekapitulasi Pilkada 2024.

Oleh karena itu, SPD mendorong agar Form C1 yang akan digunakan di ratusan ribu tempat pemungutan suara (TPS) dapat diperbaiki supaya tidak terjadi kebingungan di tingkat kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dalam menghitung hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah.

"Nah solusinya apa? Mau tidak mau karena ada kesalahan cetak, KPU harus bikin cetak Form C se-Indonesia. Karena dikhawatirkan tingkat pemahaman para penyelenggara pemilu di level bawah itu tidak sama," pungkasnya.