Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Kelompok Riset Iktiologi BRIN Nurjirana mengatakan, penelitian-penelitian pendukung atau tambahan sangat diperlukan untuk dapat menunjang keberlanjutan ikan gobi amfidromus (amphidromous goby) yang hidup di perairan kawasan Wallacea.
“Untuk keberlanjutan dari ikan gobi ini, saya tidak bisa mengklaim ini akan terancam punah atau tidak, karena pada dasarnya kita tidak punya data pendukung terkait ini,” kata Nurjirana dalam webinar di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, hingga saat ini belum ada kajian di Indonesia yang meneliti lebih lanjut mengenai informasi reproduksi gobi amfidromus seperti saat fase kehidupan di perairan laut (pascalarva) dan saat migrasi dari perairan laut ke perairan tawar (larva transfer).
Ikan gobi amfidromus merupakan ikan gobi yang memiliki siklus hidup di dua perairan yang berbeda, yaitu perairan sungai dan laut. Individu dewasa tumbuh dan bereproduksi di perairan sungai, di mana embrio dari proses reproduksi berpindah ke perairan laut.
Pada fase larva hingga pascalarva, spesies ini berada di perairan laut yang mengalami fase planktonik selama sekitar 1-6 bulan bergantung daerah. Kemudian pada waktu tertentu, mereka akan kembali ke perairan sungai untuk tumbuh dan berkembang biak.
Nurjirana mengatakan, masyarakat banyak menangkap gobi amfidromus baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk diekspor. Kegiatan penangkapan sering dilakukan di wilayah pesisir pantai di mana gobi amfidromus sedang bermigrasi dari perairan laut ke perairan sungai. Selain itu, kegiatan penangkapan untuk tujuan diperjualbelikan sebagai ikan hias juga kerap dilakukan saat gobi amfidromus telah tumbuh dewasa di perairan sungai.
“Ikan dengan ukuran 4 sentimeter ini memiliki harga yang cukup fantastis sekitar Rp50 ribu hingga Rp150ribu per ekor ketika diekspor. Dan pengiriman para eksportir itu minimal 500-1.000 individu dalam satu kali pengiriman. Sehingga hal tersebut cukup memprihatinkan, karena sampai saat ini belum ada kajian terkait aspek-aspek pendukung untuk ikan-ikan ini sehingga kita pun tidak tahu apakah spesies ini terancam -punah- atau tidak,” kata Nurjirana.
Sementara itu, pengembangan akuakultur atau budidaya gobi amfidromus juga masih sulit untuk dilakukan hingga saat ini. Hal ini, jelas Nurjirana, mengingat gobi amfidromus yang baru menetas membutuhkan makanan pertamanya berupa plankton yang hanya bisa didapatkan di perairan laut. Adapun makanan pertama gobi amfidromus dalam fase pascalarva juga hingga saat ini juga belum bisa dikulturkan.
“Kebanyakan ikan-ikan yang diekspor ini yang ditemukan di berbagai negara itu merupakan hasil ekspor -dari penangkapan langsung-, bukan hasil budidaya, karena ikan ini hingga saat ini belum ada yang berhasil untuk dibudidaya,” katanya.
Mengingat permasalahan tersebut, ujar Nurjirana, maka dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memastikan keberlanjutan gobi amfidromus. Sebagai langkah awal, Nurjirana mengatakan bahwa pihaknya juga mulai berkolaborasi dengan beberapa universitas untuk meneliti gobi amfidromus lebih lanjut, khususnya yang berada di perairan Sulawesi.
“Hasil-hasil yang saya paparkan merupakan hasil penelitian dari negara lain dan itu pun terbatas di spesies tertentu, sedangkan di Indonesia memiliki banyak spesies endemik dan sampai saat ini belum ada kajian lebih lanjut. Sedangkan di fase dewasanya, ikan ini ditangkap terus-menerus begitupun pascalarvanya. Sehingga kami kolaborasi dengan berbagai universitas, pelan-pelan melakukan kajian tambahan untuk menjawab pertanyaan ini,” kata Nurjirana.
BRIN: Riset pendukung diperlukan guna pastikan keberlanjutan ikan gobi
15 November 2024 20:22 WIB
Logo Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Jumat (3/2/2023). ANTARA/AstridFaidlatulHabibah.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024
Tags: