Jakarta (ANTARA) - Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menemukan dokumen Formulir (Form) C1 yang telah dicetak dan diterima petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sejumlah daerah memuat kesalahan, karena tidak sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Peneliti SPD Dian Permata menjelaskan kesalahan tersebut berkaitan dengan penggunaan terminologi pemilih dalam Form C1 tidak sesuai dengan yang diamanatkan UU Pilkada.

"KPU tidak konsisten dalam menggunakan istilah DPT (daftar pemilih tetap), DPTb (daftar pemilih tambahan), DPK (daftar pemilih khusus) dan seterusnya," kata Dian di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan istilah DPK tidak dikenal dalam pelaksanaan pilkada, karena hal itu hanya terdapat pada pemilihan umum (pemilu) yang di dalamnya melaksanakan 5 jenis pemilihan, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) serta pemilihan legislatif (pileg) DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

"Di rezim pemilu memang ada tiga jenis klaster (pemilih yang didata KPU), yaitu pemilih DPT, DPTb, dan DPK. Sedangkan di Pilkada itu pemilih DPT, DPTb, dan (pemilih) pindahan," ujarnya.

Hanya saja dalam Form C1 yang ditemukan-nya, seperti di Banten menjadi masalah lantaran memuat istilah jenis pemilih Pilkada 2024 yang salah.

Di mana, istilah daftar pemilih khusus atau DPK masuk ke dalam Form C1, padahal seharusnya daftar pemilihan pindahan (DPP).

Sementara, daftar pemilih pindahan dalam Form C1 yang tercetak disingkat DPTb dan daftar pemilih tambahan disingkat DPK.

Selain itu, istilah DPK yang sudah tercetak di dalam Form C1 ikut masuk atau termuat di dalam Peraturan KPU (PKPU) terkait penyusunan data pemilih dan juga penghitungan dan pemungutan suara (tungsura) termasuk rekapitulasi Pilkada 2024.

"Nah problematika yang begini kan, pemilih khusus itu ternyata dibawa, diseret di PKPU terakhir. Nah kan teman-teman tadi sudah lihat dari rangkaian PKPU DPT, logistik, tungsura, rekap, itu kan satu tarikan nafas. Kalau satu salah, maka akan terganggu semua," jelas Dian.

"Artinya, dari sini adalah kita melihat bahwa KPU membuat norma sendiri terhadap yang harusnya mereplikasi dari Undang-Undang Pilkada," sambungnya.

Oleh karena itu, SPD mendorong agar Form C1 yang akan digunakan di ratusan ribu tempat pemungutan suara (TPS), dapat diperbaiki, supaya tidak terjadi kebingungan di Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dalam menghitung hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah.

"Nah solusinya apa? mau tidak mau, karena ada kesalahan cetak maka KPU harus bikin cetak Form C se-Indonesia. Karena dikhawatirkan tingkat pemahaman para penyelenggara pemilu di level bawah itu tidak sama," pungkas dia.