Jakarta (ANTARA) - Direktur Jaminan Sosial Institute (JSI) Andy William Sinaga mengatakan jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsosnaker) perlu diperbaiki untuk mengatasi fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin masif dan diprediksi akan terjadi hingga akhir tahun 2024.

“Kami mencatat bahwa fenomena PHK medio Oktober 2024 ini hampir menyentuh 60 ribu pekerja atau buruh yang kehilangan pekerjaan. Fenomena PHK tersebut akan berdampak pada tergerusnya keberadaan jamsosnaker, dalam hal ini jaminan hari tua (JHT), karena sudah tentu para pekerja yang terkena PHK akan mengambil JHT-nya,” kata dia dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Andy menyebutkan sektor yang terkena dampak paling parah menurut catatan JSI adalah sektor manufaktur, yakni tekstil, garmen, dan alas kaki.

Baca juga: Menaker: Program jaminan sosial bantu korban PHK tidak turun kelas

Menurut dia, penyebab PHK tersebut salah satunya akibat situasi nasional yang belum stabil pascatransisi pergantian pemerintahan, yang belum menunjukkan adanya perubahan signifikan, terutama dalam perbaikan dan perubahan tata kelola ketenagakerjaan.

“Selain itu, tata kelola yang juga belum siap dalam menerapkan kebijakan PHK yakni jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021. Dalam PP tersebut, pekerja yang kehilangan pekerjaan akan menerima tiga manfaat, yaitu uang tunai, pelatihan, dan akses pasar kerja,” ujar dia.

Namun, kata dia, hingga saat ini, dalam hal penerimaan manfaat JKP, mayoritas yang dapat diikuti dan bermanfaat bagi para pekerja hanya manfaat uang tunai 45 persen dari upah sebelumnya pada tiga bulan pertama dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya.

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan: Jaminan sosial fondasi untuk masa pensiun

“Akan tetapi, manfaat pelatihan dan akses kepada pekerjaan baru belum secara maksimal terpenuhi,” ucap Andy.

Untuk itu, JSI menilai perlu ada akselerasi yang dilakukan oleh pemerintah berupa revitalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsosnaker) yang terintegrasi dengan pelatihan tenaga kerja dengan memanfaatkan balai latihan kerja (BLK) yang ada.

Selain itu, BLK baik yang dimiliki oleh pemerintah pusat (Kementerian Ketenagakerjaan) maupun yang dimiliki oleh pemerintah daerah juga perlu segera direvitalisasi dan terintegrasi dengan kebutuhan lapangan kerja saat ini.

Baca juga: DPR: Perlindungan ketenagakerjaan harus diberikan pada semua pekerja

“JKP adalah hak pekerja yang terkena PHK, sehingga eksistensinya perlu dinamis mengikuti kebutuhan pasar kerja saat ini yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tingkat tinggi (high skill) dan keterampilan non-teknis (soft skill) yang mumpuni,” demikian Andy William Sinaga.