PPN 12 persen, ekonom minta pemerintah buat kebijakan pro daya beli
15 November 2024 13:55 WIB
Konsumen mengamati sejumlah produk kebutuhan rumah tangga di salah satu gerai mal di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (26/3/2024) (ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro daya beli masyarakat, merespons keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan PPN 12 persen.
“Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat,” kata Huda saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan keputusan yang kurang bijak mengingat daya beli masyarakat masih cukup terpukul.
Menerapkan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
“Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang akan tergerus. Dampak paling buruknya adalah pengangguran akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat akan sangat terbatas,” tambah dia.
Baca juga: Sri Mulyani sebut PPN 12 persen tetap dijalankan sesuai mandat UU
Huda mengamini banyak negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menerapkan tarif PPN lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, juga ada negara yang tarif PPN-nya lebih rendah, seperti Kanada yang sebesar 5 persen.
“Jadi, tidak harus melihat yang lebih tinggi tarif PPN-nya. Ada beberapa negara mempunyai tarif lebih rendah,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, lanjut dia, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah.
“Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Salah satu pertimbangannya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Baca juga: Ekonom nilai perluasan objek pajak lebih efektif dari PPN 12 persen
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.
“Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat,” kata Huda saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan keputusan yang kurang bijak mengingat daya beli masyarakat masih cukup terpukul.
Menerapkan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
“Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang akan tergerus. Dampak paling buruknya adalah pengangguran akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat akan sangat terbatas,” tambah dia.
Baca juga: Sri Mulyani sebut PPN 12 persen tetap dijalankan sesuai mandat UU
Huda mengamini banyak negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menerapkan tarif PPN lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, juga ada negara yang tarif PPN-nya lebih rendah, seperti Kanada yang sebesar 5 persen.
“Jadi, tidak harus melihat yang lebih tinggi tarif PPN-nya. Ada beberapa negara mempunyai tarif lebih rendah,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, lanjut dia, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah.
“Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Salah satu pertimbangannya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Baca juga: Ekonom nilai perluasan objek pajak lebih efektif dari PPN 12 persen
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: